“Beta memang pernah membebaskannya demi balas budi atas kebaikan baptua yang tak mungkin beta tebus. Bano pernah menyelamatkan nyawamu,” cerita itu mengalir lancar dari bibir Umbu Balaso ketika ia tahu siapa orangtua Obeth yang rupawan itu.
Bermula dari keteledoran Rambu Mai saat membiarkan Hollida kecil turun dari uma. Di saat bersamaan, seekor kuda milik Balaso kehilangan ketenangan ketika seekor ular hampir mencederainya.
Kuda ini pun seketika meliar. Dan ketika makhluk itu hampir saja mencelakai Hollida kecil, tanpa rasa takut Bano menghadang makhluk yang dilanda ketakutan itu, bahkan berhasil menenangkannya kembali.
“Beta membebaskannya dengan pertimbangan nyawa dibalas nyawa,” Umbu Balaso mengenang Bano dengan genangan air mata. Ia mengaku senang ketika Hollida cerita bahwa lelaki itu telah memiliki usaha sendiri di tanah Jawa, dengan bekal harta yang ia berikan dulu. Bano, kawan kecilnya yang begitu setia, kemerdekaanlah yang justru memisahkannya.
Rambu Hollida menegakkan tubuh. Ia memang tak menceritakan rahasia kecil itu kepada Obeth. Rahasia yang membuat mamtua-nya selalu meradang jika diungkap.
Sebuah guncangan membuat Rambu Hollida tersadar. Keriuhan suasana stadion kembali menyeruak ke liang telinga.
Ia mendengar suara teriakan seseorang. Bukan untuk dirinya. Bukan. Keberadaannya dalam laju perlombaan ini bahkan telah menyebabkan kemurkaan sang mamtua. Jadi Rambu Hollida harus berteriak untuk dirinya sendiri.
“Ayo, Angin, ayo! Buktikan bahwa dirimu memang pantas berada di sini!” sebuah lecutan kecil menyengat pantat hewan itu.
“Lu sonde (kamu tak) ingin menyusul tuanmu ke alam baka kan?”