Membenahi Pergaraman Nasional

OLEH MUHAMAD KARIM

KEPUTUSAN pemerintah untuk membuka kembali kran impor garam sebesar 3,7 juta ton tahun 2018 ini telah menuai kontroversi. Apakah Indonesia yang menasbihkan dirinya sebagai negara kepulauan terbesar dan bercita-cita menjadi poros maritim dunia tak mampu lagi memenuhi sendiri kebutuhan garamnya secara mandiri?

Pertanyaan klise ini mengandung esensi ada problem struktural maupun kultural yang menghantui soal pergaraman di Indonesia. Pasalnya, dalam dua dasa warsa terakhir impor garam kerap saja terjadi tanpa pernah ada solusi, terkesan mentok. Alasan, pasti gangguan iklim.

Barangkali itu ada benarnya juga. Namun, apakah tidak ada solusi menyiasati iklim hingga produksi berjalan sepanjang tahun? Mengapa terkesan dibiarkan tanpa solusi tepat?

Secara obyektif Indonesia memang bukan negara yang memiliki areal pertambangan garam seperti Australia, India, Kolumbia, Meksiko hingga Mesir. Akan tetapi, kita punya lautan seluas 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Logikanya, mustahil mengimpor garam. Faktanya, setiap tahun kebutuhan impornya terus meningkat.

Pelajaran
Jika membaca Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) tentang indeks keberlanjutan pangan (Food Sustainability Index/FSI) tahun 2017 cukup menarik.

Hal ini dikarenakan bertenggernya Ethiopia di peringkat 12 melampaui Indonesia di peringkat 32 dari 34 negara yang disurvei di dunia. Peringkat teratas Perancis.

Padahal tahun 2016 kita menduduki peringkat ke-21. Penyusunan FSI ini berdasarkan 58 indikator yang dibagi empat aspek (i) secara keseluruhan (overall), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), kehilangan/susut pangan dan limbah (food loss and waste), serta gizi (nutritional challenges).

Lihat juga...