Wisatawan ke Gili Trawangan Tidak Dipungut Retribusi

Ilustrasi suasana Gili Trawangan/Foto: Dokumentasi CDN.

“Kelihatannya timpang, tetapi buat kami tidak karena disesuaikan dengan ‘skill’ dan pendidikan mereka. Rata-rata pendidikan anak di Gili Indah hanya SMA/SMK, maka kami memasukkan dalam perdes itu hanya 40 persen untuk orang dalam, karena tidak mungkin tamatan SMA itu menjadi manajer atau akunting,” katanya.

Dampak Negatif Kemajuan sektor pariwisata, apalagi wisatawan yang berkunjung mayoritas wisatawan mancanegara tentu juga membawa dampak negatif, antara lain dahulu warga tidak kenal kehidupan malam sekarang ada bar dan pap.

Kades Gili Indah mengatakan dampak negatif harus disikapi dengan serius bersama babinsa dan kepolisian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Alhamdulillah warga kami baik-baik saja berkat bimbingan babinsa dan kepolisian, memang ada yang ‘nakal’ tetapi tidak banyak, karena warga kami lebih banyak dengan kesibukannya,” katanya.

Desa itu juga mempunyai fasilitas pendidikan dari TK hingga SMK, untuk SMK jurusan pariwisata.

“SMK yang ada merupakan sekolah swasta yang merupakan inisiatif dari kami, manajer-manajer hotel yang jadi pengajarnya. Jadi mereka tidak digaji dari sekolah, mereka sumbangkan tenaga dan pikirannya dan ilmunya untuk mendidik anak-anak kami,” katanya.

Setelah tamat sekolah, mereka bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di desa ini, maka 99 persen masyarakat Desa Gili Indah bekerja, tidak ada pengangguran.

Selain dampak sosial, pengaruh lain dari pariwisata adalah persoalan sampah yang harus ditangani secara serius.

Pada 2017, Pemkab Lombok Utara sudah membeli lahan untuk pengolahan sampah di Gili Trawangan seluas 60 hektare dan rencananya pada tahun ini dibangun tempat pengolah sampah dan limbah.

Lihat juga...