“Cocok. Dia kan dulu jago matematika. Bisa berhitung harga. Memang benar, ya. Yang pinter tidak harus kaya. Aku yang pas-pasan otaknya juga bisa keliling dunia hahaha…”
“Si Warno malah menjadi profesor. Dulu sering jadi guyonan karena kecil tubuhnya.”
“Oh ya? Wah bener-bener tidak menyangka. Si Joko kabarnya jadi anggota dewan?”
“Iya dia cocok di politik. Dia ketua partai. Padahal dulu dia standar bawah. Kalau dia naik kelas berarti yang lain naik kelas semua.”
“Si Iwan katanya malah pernah menyalonkan bupati.”
“Iya. Aku juga heran. Dulu begitu nakal malah jadi calon bupati.”
“Itulah hidup. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.”
“Lalu siapa guru kita yang masih hidup? Pak Marno dan Bu Darmi gimana?” tanyanya mengingat guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang berkesan.
Akhirnya, setelah capek mengobrol dan makan, dia mengajak jalan-jalan sambil nostalgia.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
“Siap mengantar. Tapi ke mana?”
“Di candi Hindu paling tinggi di Jawa Tengah. Kita tengok kekayaan nenek moyang kita.”
“Ke candi mana?”
“Yang dekat sini saja.”
“Candi Sukuh atau Situs Planggatan?” jawabku. Candi Sukuh lebih terkenal dengan bentuknya yang piramid.
“Planggatan? Dimana?” tanyanya.
“Masih di desa ini. Tidak ada 1 kilometer dari sini. Tapi belum direkonstruksi. Bentuknya punden berundak. Masih seperti bukit. Ada beberapa relief dan batu Lingga Yoni. Reliefnya ada yang mirip Candi Sukuh. Ada relief Gajah Wiku dan huruf Pallawa,” kataku bak guide.
“Yang lain saja yang lebih tinggi lagi lokasinya.”
“Candi Cetho? Apanya yang menarik? Candi itu sudah direhab tapi bentuknya tidak sesuai dengan kaidah candi.”