LAYAR kecil smart phone itu berkedip-kedip dengan tulisan kecil-kecil. Isinya chatting dengan seorang kawan lama. Benda kotak kecil tipis yang disebut smart phone itu kini menjadi dewa. Ke mana-mana dibawa. Kalau ketinggalan bikin senewen yang punya. Berisi sekian informasi dan jalur komunikasi.
Dan sekarang tiba-tiba dia telah hadir di layar smart phone-ku. Lengkap dengan fotonya dengan mata sipit. Memang sudah berubah wajahnya. Kalau ketemu mungkin sudah tak mengenali. Teknologi itu membawaku pada grup WA (whats app) yang menemukan teman-teman SMP, 37 tahun yang lalu. Ada lebih dari 35 tahun tak bertemu. Dan sekarang, aku mengobrol dengan dia.
Dia temanku yang duduk di depan bangku waktu kelas satu SMP. Dia salah satu teman yang sangat baik denganku. Cantik, bermata sipit, bersahaja, ramah dan murah hati. Dia putri seorang pejabat di kotaku. Aku sering mengobrol dengannya dan dia sering membelikan aku makanan dari warung sekolah. Hal yang menjadi kemewahan bagiku waktu itu, uang saku.
Sekarang dia tinggal di Bogor. Suaminya bekerja di perminyakan. Dia pernah tinggal di Riau, lalu pindah ke Muscat, Oman lalu pindah lagi ke Palembang. Dan sekarang suaminya pensiun tinggal di Bogor. Pada Lebaran tahun ini dia berencana ke kampung halamannya dan kami akan mengadakan reuni kecil. Sebelum reuni kami janjian bertemu.
“Di mana kita akan bertemu? Di resto Solo apa Yogya?” Aku membalas ajakannya. Aku tawarkan dua kota itu karena selepas pensiun aku mondar-mandir di kedua kota itu sambil menunggu anakku yang masih sekolah.
“Di kampung halaman saja. Meski aku tak punya rumah di situ.”
Bertemulah aku dan dia di rumahku, di Desa Berjo, lereng Gunung Lawu. Hanya sekitar 1 kilometer dari Candi Sukuh. Sebuah rumah joglo kuno berdinding batu. Aku kadang tinggal di situ untuk menyepi. Anak istri tinggal di kota. Dia aku pandu dengan Google Map dan dengan mudah menemukan rumahku. Begitu sampai halaman rumah, dia berulang kali berdecak kagum akan pemandangannya.