“Wow, luar biasa ini pemandangannya. Pantas kamu mau tinggal di rumah ini. Ke arah sana pepohonan menghijau, ke timur kebun teh seperti karpet hijau, ke barat kota Karanganyar terlihat semua…” katanya sambil bolak-balik melihat kejauhan.
Lalu dia jalan menuruni kebun sambil melihat-lihat sekitar. Ada sekitar 2000 m2 luas kebun ini. Dia mendekati pohon bertangkai kecil.
“Ini jeruk keprok?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, ya? Waktu kecil jeruk ini rasanya manis sekali dan segar. Wah kebunmu luas dan banyak tanamannya,” komennya. Disamping jeruk keprok, saya tanami dengan tanaman buah lokal seperti kelengkeng, alpukat, durian, pelem sengir, dan mangga alpukat yang baru ngetop.
Ada juga pohon apel dari Malang, tetapi belum berhasil berbuah. Di pojok-pojok tertentu ada nanas madu. Juga tanaman singkong, jalak towo, ketela ungu, wortel, bawang merah, dan lainnya. Komplit untuk sebuah kebun.
“Di sini dingin. Aku kadang di sini kalau ingin menyepi. Rumah ada di Beji,” kataku.
Setelah puas menikmati kebun, dia naik ke atas dan melihat rumah joglo. Melongok sebentar lalu berkata, “Kenapa tidak bikin resto di sini? Suasana dan view cantik sekali.”
“Maunya begitu, tetapi belum ada investor dan yang urus.”
“Lha kamu investornya,” katanya. Aku hanya nyengir dan merasa tidak punya kompetensi owner resto. Bisanya penggemar kuliner. Dia lalu berjalan ke kebun belakang. Melihat sesaat dan langsung berseru, “Batu-batu ini besar sekali dan indah. Masih ada batu seperti ini. Ini harusnya yang kamu jadikan maskot. Kenapa ditaruh di belakang?”
“Itu sudah ada di situ. Siapa yang bisa geser batu sebesar gajah gendut itu. Orang sini menyebutnya Watu Tumpang. Batu menumpang di atas batu,” kataku. “Desa ini banyak batu di dalam tanah. Bahkan waktu rehab rumah tak perlu beli batu. Cukup menggali tanah sudah keluar batu. Hanya sayangnya penduduk suka menambang batu-batu itu untuk sesuap nasi. Kalau tidak dikendalikan bisa menjadi persoalan lingkungan dan bahaya.”