Patung Lelaki Sumeria di Candi Cetho

CERPEN SUNARYO BROTO

“Wow, semuanya indah. Batunya bisa disusun bertumpuk ke atas biar bagus. Lihat Galeri Selasar Sunaryo di Bandung yang senang menata batu. Tak salah kamu tinggal di sini. Pengin juga menginap di sini.”

“Ayo, silakan. Ada kamar standar hotel bintang tiga.”

Kami lalu duduk lesehan di gazebo pinggir halaman. Dia memilih duduk di situ daripada di dalam rumah. Gazebo ini dari kayu ulin Kalimantan Timur. Khusus dikirim dari Bontang, waktu aku masih sebagai karyawan di pabrik pupuk. Kami mengobrol sambil minum teh Kemuning yang terasa agak sepet tetapi enak. Khas Kemuning, Ngargoyoso.

Aku perhatikan profilnya. Wajahnya sudah berubah. Kalau bertemu sepintas di jalan mungkin kita juga sudah tak mengenali. Meski kalau diamati garis wajahnya masih teringat juga. Kami saling tertawa dan saling menatap. Mencoba tersenyum dan mengingat. Mungkin dia menatapku juga begitu. Sudah berubah.

Memang kami sama-sama sudah berangkat tua, lebih dari 55 tahun. Ada seribu kemungkinan perubahan yang kita tak tahu. Tapi kadang kita sok tahu dengan memandang dengan kaca mata 37 tahun lalu. Tak adil memang persepsi kita.

“Akhirnya kita bisa mengobrol juga,” katanya menggumam.

“Iya, gimana kamu?” kataku berbasa-basi. Tapi setelah itu berhamburan cerita seakan tak ada putusnya. Saling bertanya dan menjawab. Untuk menebus waktu yang terputus. Kita tertawa-tawa penuh nostalgia.

“Bagaimana kabarnya Hartini? Dimana dia sekarang?” Kami sama-sama mendiskusikan siapa dan dimana sekarang. Apa sudah punya cucu? Beberapa di antara kawan SMP sudah mempunyai cucu. Ada yang cucunya lima.

“Si Budi yang bintang kelas kerja apa?”

“Dia buka toko kelontong di dekat sini.”

Lihat juga...