Begini Ketika Presiden Soeharto Memikirkan Solusi Kemacetan Jakarta
Editor: Satmoko
Seusai diterima Presiden di kediaman Jalan Cendana, Jakarta, Rabu (30/3/1989), menteri menjelaskan, kemacetan lalu lintas terutama di empat kota besar yaitu di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan memang sudah harus diantisipasi secara serius.
“Peningkatan kendaraan terutama kendaraan pribadi di empat kota itu sudah luar biasa, “ katanya.
Lebih lanjut, menteri menerangkan, bahwa data kendaraan yang berseliweran setiap hari di Jakarta, sebagian besar atau lebih dari 84 persen merupakan kendaraan pribadi. Kendaraan umum hanya memegang porsi empat persen, dan truk 12 persen. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di tiga kota besar lainnya, di mana kendaraan pribadi di Bandung juga paling banyak yang menggunakan jalan raya. Jumlahnya, sekitar 64 persen.
Celakanya, menurut Azwar Anas, penumpang yang duduk di kendaraan pribadi itu hanya satu atau dua orang. Biasanya kalau satu orang berarti si empunya kendaraan menyetir sendiri kendaraannya ke kantor atau keperluan lain. Sementara kalau dua orang mungkin ia mengupah sopir.
Data survei di Jalan Kiai Tapa, Tomang memperkuat hal itu. Kendaraan pribadi yang berisi satu orang di jalan raya memegang porsi terbesar, yaitu 45 persen. Sementara dua dan tiga orang masing-masing 37 persen dan 10 persen.
“Kendaraan pribadi yang berisi empat orang atau lebih hanya empat persen saja,” ungkap menteri.
Dengan demikian, menurut dia, kendaraan umum harus lebih diutamakan sehingga kemacetan dan kepadatan lalu lintas bisa dikurangi.
Jalur Khusus
Mencontoh Singapura dan negara lain, menteri menilai, penerapan jalur khusus bagi kendaraan umum dapat menolong kemacetan lalu lintas, sekaligus mendorong masyarakat menggunakan fasilitas itu.