“Aku ingin kita akan tinggal bersama sebagai petani,” ucapnya kepadaku.
Pangeran Panjunan yang kondisinya sudah letih dan menyedihkan tetap mengobarkan semangat kepada prajuritnya untuk tetap bertahan di hutan. Namun lama kelamaan ketika kelaparan mendera mereka sementara hewan dan buah-buahan makin sukar didapat, hanya lima orang yang tetap setia kepada Pangeran Panjunan. Sisanya diam-diam keluar dari hutan dan menyerah. Mereka mengabaikan sumpah setia kepada sang sultan dan siap dikutuk menjadi monyet apabila menyerah kepada kaum pemberontak.
Ketika para prajurit yang menyerah itu keluar dari hutan, tanpa mereka sadari kulit sekujur tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu berwarna kelabu yang lebat. Ketika mereka berteriak lantaran terkejut yang keluar dari mulut mereka adalah suara menguik yang menyayat. Hanya aku yang tidak turut menjelma menjadi monyet. Menyadari ampuhnya kutukan itu, kekasihku yang telah menjadi monyet namun tetap kucintai itu mengajakku kembali ke dalam hutan untuk meminta ampun dan mengucap sumpah setia kepada Pangeran Panjunan. Namun celaka, Sang Sultan dan sisa prajuritnya tidak pernah dapat ditemukan. Mereka moksa.
Kekasihku menangis menyesali semuanya.
“Meskipun sekarang kamu seekor monyet, aku tetap mencintaimu dan tak akan meninggalkanmu,” ujarku. Berahun-tahun aku tinggal di rumah panggung tepi hutan lereng Gunung Ciremai bersama seekor monyet sampai dia menghembuskan napasnya yang terakhir oleh kesedihan dan penyesalan.
Aku hendak menguburkan jasadnya di belakang rumah panggung kami, ketika tiba-tiba muncul seorang nenek berambut panjang seputih kapas dan berikat kepala. Tubuhnya bagai melayang dari ranting ke ranting sebelum berdiri di depan rumah panggung kami. Dia mencegah niatku menguburkannya. Lalu kudengaar dia bersabda: “Dia tidak mati. Hanya tidur panjang. Kelak, setelah dua ratus tahun dia akan bangun dalam wujud semula sebagai prajurit yang tampan. Masukkan saja jasadnya ke dalam peti, dan berbaringlah di sisinya kalau kamu tidur. Kelak kalian akan terjaga sebagai sepasang kekasih yang sempurna.”