Kedatangan rombongan prajurit itu membuat warung nasi kami harus memasak nasi dan lauk lebih banyak dari biasanya dan buka sampai jauh malam. Kami melakukannya dengan perasaan senang. Bukan karena keuntungan yang kami dapat jadi berlipat, melainkan ibuku menganggap apa yang kami lakukan sebagai dukungan kepada junjungan kami melawan musuh guna melindungi kehidupan kami yang tenteram. Malam-malam mereka memesan kopi dan menghisap tembakau.
“Kopi racikanmu enak, Samba!” katanya menatapku. Aku melihat lidahnya menjilat bibirnya.
“Ibuku yang membuat,” kataku.
“Kamu juga pasti bisa membuat kopi seenak ini.”
“Kapan kira-kira prajurit Pangeran Kejaksan datang menyerbu?”
“Kami belum bisa memastikan. Tapi kami harus selalu siaga!”
Kehadiran mereka membuat suasana terasa tegang namun membuat desa kami lebih hidup dan semarak. Selama menunggu kemunculan musuh, mereka mengumpulkan para pemuda desa kami. Melatih kami ilmu keprajuritan, dan berbagai keterampilan kanuragan untuk membela diri serta siasat mempecundangi musuh. Mereka juga membantu warga desa membuat parit dan pematang sawah.
Dalam rombongan pasukan berjumlah 100-an orang itu, dia salah satu pemimpin. Aku selalu memperhatikan dengan sungguh-sungguh caranya memegang dan menggunakan senjata saat melatih kami. Sangat lihai dan mengagumkan. Dadanya bidang berkilat-kilat oleh keringat. Kami menirukan setiap gerakannya. Lalu satu persatu kami dimintanya menyerang dia menggunakan pedang.
Dia memanggilku ketika latihan selesai dan para pemuda desa pulang ke rumah masing-masing.
“Kamu masih mau berlatih?” tanyanya. Aku mengangguk. Aku tak pernah sanggup menolak apa yang diinginkannya. Dia seperti tahu apa yang bergerak di dalam hatiku.