Monyet dan Kekasihnya

CERPEN ARIS KURNIAWAN

Selesai berlatih berdua saja kami duduk bersisian melihat bintang-bintang, dia bercerita tentang keadaan kesultanan yang sedang gawat. Bangsa asing datang memecah-belah. Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Pangeran Panjunan sebagai pewaris sah, digerogoti oleh Pangeran Kejaksaan, sepupu sultan sendiri. Mereka menyusun kekuatan untuk memberontak.

“Bangsa asing datang dan memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan mereka sendiri!” ujarnya. Aku hanya manggut-manggut seolah mengerti.

Setelah mengakhiri obrolan dan aku hendak pulang, dia memeluk dan mencium keningku. Ini peristiwa yang membekas begitu dalam di benakku dan membuatnya hangat saban mengenang kala malam menjelang tidur setelah dia dan rombongannya kembali ke kesultanan beberapa hari setelahnya. Itu adalah hari-hari yang panjang dan menyedihkan bagiku.

“Semoga kita akan bertemu lagi dalam situasi yang lebih baik,” janjinya kepadaku setelah berpamitan kepada warga desa kami.

Tapi tak ada situasi yang lebih baik selain perjumpaan yang sebentar itu. Warga desa kami bersedih melepas rombongan pasukan kesultanan. Tapi kesedihanku jauh berlipat-lipat dari kesedihan mereka.

Telik sandi yang dikirim pasukan kesultanan ke wilayah musuh datang mengabarkan bahwa pasukan pemberontak pimpinan Pangeran Kejaksan membatalkan penyerbuan. Tetapi rupanya pasukan pemberontak telah mengecoh telik sandi sultan.

Sehari setelah rombongan pasukan kesultanan kembali ke istana, pasukan pemberontak datang menyerbu bersama bala bantuan pasukan asing dari arah yang lain sebelum fajar menyingsing. Pertempuran segera pecah di sekeliling keraton kesultanan. Prajurit kesultanan yang baru terjaga kocar-kacir tak mampu mempertahankan diri.

Lihat juga...