Produsen Teri Tawar dan Asin di Bakauheni Kekurangan Bahan Baku
Pengolahan secara tradisional dengan penjemuran hingga kering selama satu hari saat panas terik maksimal dan dua hari dalam kondisi mendung, dirinya bisa memperoleh omzet Rp6 juta per hari.
“Proses pengolahannya lebih cepat dibandingkan teri rebus asin, namun harga jualnya lebih tinggi, dengan catatan kondisi cuaca maksimal panasnya teri bisa cepat terjual ke pasar,” bebernya.
Teri tawar tanpa bahan pengawet tersebut, diakuinya kerap dibeli oleh pemilik warung kuliner berbahan ikan teri dan juga dijual ke pasar kerap diminati oleh konsumen ibu rumah tangga untuk membuat peyek teri. Sebagian teri dikemas khusus untuk dijual kepada pemesan yang membeli secara langsung ke rumahnya dengan harga jual Rp60.000 tanpa kemasan dan setelah dikemas dijual seharga Rp70.000 per kilogram.
Suminto (34), salah satu pekerja pembuatan teri asin sistem rebus mengaku, selama bahan baku teri langka, dirinya hanya merebus 100 cekeng, sehingga hanya menjemur ikan teri asin dalam jumlah sedikit. Ia menyebut, kurangnya pasokan bahan baku ikan teri dari nelayan bagan congkel membuat ratusan senoko untuk menjemur ikan teri asinnya tidak digunakan.
“Banyak nelayan melakukan tradisi ngebabang atau pergi ke wilayah lain tidak mendarat ke muara piluk, sehingga bahan baku teri minim, padahal cuaca panas terik mendukung untuk pengeringan,” terang Suminto.
Pada saat kondisi cuaca di perairan membaik dan nelayan memperoleh hasil tangkapan, produksi pengolahan teri rebus atau teri asin bisa mencapai sekitar 200 hingga 300 cekeng, dan akan terjadi setelah kondisi perairan membaik.
Ikan asin yang direbus, diakuinya selain terkendala cuaca dan bahan baku kerap terhambat dengan kenaikan harga garam serta kayu bakar, meski harga teri asin kering masih bertengger di angka Rp45 ribu per kilogram.