Ia menilai perekonomian dalam bisnis tembakau seperti judi.
Sementara, menurut dia, mulai bermunculan aturan berkaitan dengan pembatasan rokok.
Oleh karena itu dibutuhkan intevernsi pemerintah berkaitan dengan pertembakauan nasional.
Baca Juga : Peneliti Demografi Apresiasi Kenaikkan Cukai Tembakau
Tembakau itu, disebutnya, seperti istri siri. Ia dibutuhkan tetapi tidak diakui.
Padahal, secara ekonomi tembakau telah ikut serta menyumbang bagi kemajuan perekonomian.
Oleh karena itu, menurut Sony, jika memang masih dibutuhkan, maka diakui saja karena karena tembakau petani juga sejahtera.
Sisi budaya Di sisi lain, budayawan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Donny Danardono menilai pembatasan terhadap rokok harus diimbangi pula dengan pembatasan kendaraan bermotor, jika sama-sama memiliki risiko ancaman terhadap kesehatan.
Ia menilai bahwa tidak ada konsistensi dari pemerintah. Rokok dibatasi, tetapi kendaraan bermotor tidak ada pembatasan.
Menurut dosen filsafat Universitas Katolik Soegijapranata itu, asap yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor sama berbahayanya dengan asap rokok.
Namun, lanjut dia, tidak pernah ada pembatasan kendaraan bermotor.
Sejak tahun 2000-an, muncul berbagai peraturan berkaitan dengan pembatasan rokok, termasuk adanya Peraturan Daerah Kota Semarang yang mengatur kawasan tanpa rokok.
Ia berpendapat keberadaan aturan-aturan tentang pembatasan area merokok menghilangkan kenikmatan merokok sebagai bagian dari kegiatan sosial.
Kalau diibaratkan sekarang ini, ucapnya, orang merokok itu seperti orang buang hajat.
Orang yang akan merokok di kawasan larangan merokok, harus menuju ke tempat khusus yang memang sudah disediakan.