Cincin Memorabilia 1965 Milik Mangku Gejor

“Tapi, Kek, saya berjanji akan selalu menjalani nasehat kakek. Meski saya ikut ormas, saya tak pernah sombong dan angkuh. Justru saya setia pada kawan, dan berusaha membela mereka jika terjadi perkelahian. Bukankah itu sebagai bentuk jiwa ksatria, Kek?”

Wayan Darya tetap kukuh pada pendiriannya. Darya telah terobsesi dengan cincin itu, sejak orang-orang tua di desa mengatakan kakeknya punya cincin pusaka yang berkhasiat kekebalan. Tapi, Wayan Darya akhirnya tahu, bujuk rayu dan rengekannya tak akan mempan. Dia terus memutar otak dan menyusun rencana untuk bisa mendapatkan cincin itu.

“Wayan, itu cincin pusaka. Kakek menyucikannya di pelangkiran. Tidak boleh dipakai sembarangan. Cincin itu sangat tenget, sangat angker,” ujar Mangku Gejor, masih terus berusaha menasehati cucu kesayangannya.

“Iya, sudahlah, Kek. Jika kakek tetap bersikukuh tak mau memberikan cincin itu pada saya, ya, sudah, saya tak apa-apa. Tapi, saya akan tetap bergabung dalam ormas itu. Dan, Kakek tak perlu khawatirkan saya,” ujar Darya.

Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Darya, sebelum dia menghilang dari rumah.
Mangku Gejor menghela nafas. Berkali-kali dia menghisap rokoknya. Asap mengepul berbaur aroma bunga-bunga kenanga yang ditiup angin senja. Pikirannya tertuju pada cincin bermata putih bening yang disimpannya di pelangkiran kamar sucinya. Dia terkenang pada pemilik cincin itu.

Dulu, di masa G30S/PKI, di desa tetangga Gejor ada seorang pemangku yang masih muda. Pemangku itu sering dipanggil Jro Mangku Alit. Gejor berkawan akrab dengan pemangku muda itu. Namun, Jro Mangku Alit terbukti komunis oleh pemangku lain yang lebih tua. Pasukan tameng di desa itu menangkap Jro Mangku Alit, lalu diserahkan pada pasukan tameng di desa sebelah yang dipimpin Gejor. Jro Mangku Alit ditangkap saat memimpin persembahyangan di sebuah pura di desanya.

Lihat juga...