Cincin Memorabilia 1965 Milik Mangku Gejor

“Wayan, sudahlah. Cukup!” bibir keriput Mangku Gejor bergetar. Wajahnya memelas.

“Mengapa kakek jadi lemah begini? Kenapa kakek tidak bangga dengan masa lalu kakek yang hebat itu?” Wayan Darya tak bisa menyembunyikan keheranannya.

Mangku Gejor diam bagai patung antik di beranda rumahnya. Bibir keriputnya masih bergetar. Dia berusaha menahan kata-kata agar tak terlontar dari bibirnya.

“O, ya, sekarang saya telah meneruskan perjuanganmu, Kek, menjaga tanah Bali. Saya ikut ormas, Kek. Teman-teman saya badannya kekar-kekar. Cuma saya yang masih kerempeng. Makanya, saya berharap kakek menganugerahi saya cincin pusaka itu, untuk jaga diri, Kek,” Wayan Darya terus mengoceh.

Mangku Gejor terkesiap. Dia tidak suka jika cucunya ikut-ikutan masuk dalam kelompok atau ormas ini-itu. Baginya, itu hanya akan mengulang sejarah pertumpahan darah di Bali, yang pernah dialaminya dulu. Sungguh, Mangku Gejor berusaha berdamai dengan dirinya. Dia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu. Cincin pusaka itu telah disimpannya di pelangkiran. Kelewang yang dulu haus darah telah dia buang ke laut.

Sepuluh tahun lalu, setelah terus menerus dihantui mimpi buruk, Mangku Gejor meluasin, bertanya ke balian, orang pintar, di desa tetangga. Menurut petunjuk niskala, alam gaib, balian menasehati agar cincin dengan permata putih bening yang sering dikenakannya, sebaiknya dilepaskan dan disimpan di pelangkiran. Cincin itu tak boleh diwariskan kepada siapa pun, karena mengandung kutukan, dan akan memakan korban jika dipakai oleh keturunannya. Balian kemudian menasehati agar Gejor melukat, meruwat batin, di tujuh sumber mata air suci.

Lihat juga...