Cincin Memorabilia 1965 Milik Mangku Gejor

“Ah, kakek jangan bohong. Orang-orang tua di desa ini banyak yang bilang begitu.”

Mangku Gejor berusaha menahan diri. Dia tidak ingin cucunya tahu siapa sebenarnya dirinya di masa lalu. Perasaan bersalah terus menghantui hidup Mangku Gejor. Dan, dia khawatir hukum karmaphala akan menimpa cucunya akibat perbuatan buruknya di masa lalu.

“Kenapa kakek tak pernah cerita tentang masa lalu kakek? Saya bangga padamu, Kek. Kakek ternyata orang pemberani yang disegani di desa ini,” ujar Wayan Darya dengan wajah bangga.

Mangku Gejor diam hening, sembari berusaha menduga-duga arah pembicaraan cucunya.

“Banyak orang bilang, kakek dulu jagoan, kebal berbagai jenis senjata. Orang-orang juga bilang, kakek dulu pemimpin tameng yang disegani di desa ini. Tameng itu apa, Kek? Apa sejenis laskar, atau ormas yang saya ikuti sekarang?” Wayan Darya kembali melontarkan kebanggaannya.

Mangku Gejor merunduk. Dia berusaha menyembunyikan kelopak matanya yang mulai basah. Keriput-keriput di wajahnya makin jelas terlihat. Ringis wajah-wajah kesakitan dari bongkah-bongkah kepala yang telah dipisahkan dari badannya kembali menyeruak, seakan memenuhi beranda rumahnya. Mangku Gejor menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari dalam hati berkata, “Tidak… tidak.. tidak….” Dia berusaha menepis masa silamnya.

Wayan Darya menatap kakeknya dengan heran. “Kakek kenapa?”

“Wayan, kamu jangan percaya ocehan orang-orang tua yang pikun itu,” ujar Mangku Gejor dengan wajah yang masih menunduk, seakan beban masa lalu kembali menimpa dirinya.

“Kenapa kakek bilang mereka pikun? Mereka teman-teman seperjuangan kakek ‘kan? Bukankah mereka pahlawan, sama dengan kakek, yang ikut memberantas orang-orang komunis dari desa ini?”

Lihat juga...