Perajin Bambu di Sleman Berharap Ada Solusi Lesunya Pasar
“Perajin di sini biasanya hanya produksi meja dan kursi bambu saja. Sedangkan produk bambu seperti hiasan lampu, langit-langit, dan pernak-pernik lainnya ini semua berasal dari luar daerah. Kita hanya dititipi saja,” katanya.
Jauh menurunnya permintaan pesanan dari luar daerah membuat produksi usaha kerajinan bambu di kawasan ini juga menurun drastis. Subiantoro yang dulu memiliki 16 orang karyawan, kini hanya mempekerjakan maksimal 6 orang saja. Produksi meja kursi bambu usahanya pun kini hanya 20 set setiap bulannya. Jumlah yang sangat jauh dibanding beberapa tahun lalu yang mencapai puluhan hingga ratusan per bulannya.
“Sekarang kalau ramai paling saat lebaran atau tahun baru saja. Selebihnya, ya sepi seperti ini. Tapi, alhamdulillah masih bisa untuk makan sehari-hari,” katanya.
Mendatangkan bahan baku bambu dari daerah Kulonprogo, Purworejo, atau Kebumen, Subiantoro menyebut salah satu kendala utama usahanya adalah soal permodalan dan pemasaran. Selama ini, ia mengaku mengusahakan modal secara swadaya. Begitu pula dalam hal pemasaran yang masih dilakukan secara manual atau konvensional dari mulut-ke mulut.
“Pemasaran biasanya, ya cuma jual di kios ini. Nanti pemesan datang sendiri, termasuk yang dari luar pulau atau luar negeri. Memang pernah ada yang melatih pemasaran secara online. Tapi, saya kurang bisa, lebih enak langsung,” katanya.
Melihat stagnannya usaha kerajinan bambu di daerahnya, Subiantoro berharap ada upaya-upaya dari pemerintah setempat untuk menggairahkan kembali produk khas Tirtoadi itu. Pasalnya, menurut Subiantoro, selama ini pemerintah kurang serius dalam mengembangkan usaha kerajinan bambu di daerahnya.