Sementara itu, salah satu peserta program residensi ALF asal Vietnam, Tra Nguyen, mengaku tidak cukup familier dengan karya-karya penulis Asia Tenggara karena kendala bahasa.
Oleh karena itu, penerjemahan menjadi salah satu isu yang dibahas dalam program residensi, bagaimana proses penerjemahan karya sastra dari bahasa asli ke bahasa target menjadi penting untuk meningkatkan popularitas karya sastra oleh penulis Asia Tenggara.
“Tetapi kalau itu sulit dilakukan mungkin menerjemahkan ke bahasa perantara seperti bahasa Inggris lebih mudah. Saya yakin itu cara yang bagus untuk memperluas pembaca sastra di region ini,” ujar Tra yang merupakan General Manager San Art, organisasi seni independen tertua di Ho Chi Minh City.
Karya sastra Asia Tenggara dipandang memiliki kekuatan pada tema-tema kekayaan budaya, etnis, serta keunikan tradisi dan kuliner.
Dampak penjajahan dan konflik masa lalu diangkat oleh penulis Indonesia Eka Kurniawan melalui “Cantik itu Luka” (2002) dan penulis Kamboja Loung Ung lewat “First They Killed My Father” (2000) yang akan diadaptasi ke dalam film layar lebar.
Migrasi orang-orang Asia Tenggara ke negara penjajahnya juga pernah dituangkan dalam novel klasik “Student Hidjo” (1918) oleh penulis Indonesia Marco Kartodikromo dan puisi yang ditulis penyair Malaysia Muhammad Haji Salleh.
Melalui karya-karya tersebut, Yusri Fajar melihat bahwa fenomena yang saling terkait antarnegara Asia Tenggara itu sangat menarik untuk diketahui, terutama oleh pembaca di luar kawasan.
Sebagai warga ASEAN, perlu bangga dan memegang optimisme bahwa karya sastra Asia Tenggara akan berkembang dan mampu bersaing dalam tataran internasional.