Demikian halnya forum seperti ALF bisa menjadi medium untuk membicarakan berbagai isu seputar kawasan ASEAN, bahkan yang sensitif sekalipun, seperti isu Laut China Selatan, dengan suasana yang lebih informal dan santai.
“Jadi kita tidak berupaya menyampaikan ‘statement’ yang sifatnya politis tetapi lewat perspektif budaya, bagaimana mengemukakan kepentingan kita bersama untuk memberdayakan komunitas ASEAN ini dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya literatur,” ujar penulis antologi puisi “Kepada Kamu yang Ditunggu Salju” (2017).
Perkembangan Literatur Upaya untuk mempersatukan masyarakat ASEAN lewat sastra rupanya tidak luput dari tantangan.
Dosen jurusan Studi Melayu National University of Singapore (NUS) Azhar Ibrahim mengatakan produksi karya sastra oleh penulis Asia Tenggara meningkat dari segi jumlah maupun kualitas, namun hal itu tidak didukung dengan wacana sastra yang jelas untuk masa mendatang.
Pengajar literatur Melayu, Indonesia, dan ideologi pembangunan itu menilai hingga saat ini pendidikan sastra di negara-negara ASEAN tidak terbangun dengan baik ditambah rendahnya minat baca masyarakat.
“Contohnya karya Pram (Pramoedya Ananta Toer, red.) dan Mochtar Lubis tidak pernah dibawa ke ‘international discourse’. Jadi kita tidak ada upaya intelektual serius untuk digaungkan,” kata penulis “Contemporary Islamic Discourse in the Malay-Indonesia World: Critical Perspectives” (2014) itu.
Kerja sama pemerintah ASEAN untuk mempromosikan sastra utamanya kepada generasi muda dianggap Azhar belum terbangun karena hingga kini sastra Asia Tenggara tidak pernah dimasukkan dalam kurikulum sekolah.