JAKARTA – Pada malam pembukaan Festival Sastra ASEAN (ALF) keempat di Kota Tua, Jakarta, beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid menyampaikan kuliah umum tentang perlunya budaya ditonjolkan untuk menyatukan masyarakat Asia Tenggara.
Pendekatan ini dinilai penting untuk mempererat hubungan antarbangsa ASEAN yang sebenarnya memiliki banyak persamaan produk budaya, salah satunya Cerita Panji dari Jawa Timur.
Cerita rakyat mengenai kepahlawanan dan cinta ini juga hidup di Malaysia, Kamboja, dan Thailand meski dikembangkan dengan judul dan karakter berbeda.
Selain itu, masyarakat ASEAN juga berbagi kepercayaan terhadap roh dan hantu dengan bermacam sebutan, seperti nangnak di Thailand dan kuntilanak di Indonesia. Keduanya ditujukan untuk menyebut karakter hantu perempuan yang mati setelah melahirkan.
Berbagai persamaan tersebut menunjukkan keterkaitan antarnegara di Asia Tenggara yang sudah lebih dahulu ada sebelum lima bapak pendiri ASEAN menyepakati Deklarasi Bangkok, sebuah landasan kerja sama regional bidang ekonomi, sosial, dan budaya pada 8 Agustus 1967.
Kini hampir 50 tahun sejak ASEAN berdiri, aspek budaya masih diyakini sebagai medium paling ampuh untuk membangun kesepahaman, rasa saling memiliki, dan identitas bersama sebagai masyarakat regional yang besar.
Pendiri ALF Abdul Khalik memandang produk budaya seperti karya sastra sebagai unsur paling alami untuk mengenal dan mempersatukan antarindividu, atau dalam konteks ASEAN, antarbangsa.
“Mengenal budaya dan jalan pikiran suatu bangsa lewat karya sastra itu lebih mengena di hati daripada pendekatan ekonomi yang jelas pragmatis atau politik yang sangat elitis,” ungkapnya.