Taktik Cerdas Jenderal Besar Soeharto dalam Menghentikan Perang Indocina III

CENDANANEWS (Mengenal Jenderal Besar (Purn) HM. Soeharto) – Invasi 150.000 pasukan Vietnam ke Kamboja pada tanggal 25 Desember 1978 dikenal juga dengan istilah Perang Indocina III. Peristiwa ini merupakan rentetan panjang dari konflik dalam negeri Kamboja dan imbas perang Vietnam yang membuat Amerika Serikat pulang dengan kerugian besar dan rasa malu. Konflik dalam negeri Kamboja ditandai dengan kudeta militer oleh Jenderal Lol Nol terhadap pemerintahan Pangeran Sihanouk pada tahun 1970. Kekacauan politik dalam negeri Kamboja pada puncaknya terjadi kudeta yang dilakukan tentara Khmer Merah yang di pimpin oleh Kaum Sosialis Revolusioner Kamboja, Pol Pot pada 17 April 1975.
Invasi Vietnam selama dua minggu menghasilkan pemerintahan boneka di Pnom Penh Kamboja dengan menjadikan Hun Sen sebagai Perdana Menteri dari Republik Rakyat Kampuchea (PRK) yang notabene menjadi lawan politik kelompok Khmer Merah. 
Kisruh politik dalam negeri Kamboja semakin parah karena berimbas pada negara sekawasan Thailand karena terjadi konflik wilayah perbatasan. Pasukan Khmer Merah ditengarai mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina (RRC) bahkan melibatkan Singapore dan Thailand yang merupakan anggota ASEAN.
Keterlibatan Amerika Serikat  dalam konflik Kamboja dengan Vietnam bukan semata sebagai polisi dunia namun adanya faktor kekalahan dalam perang Vietnam terdahulu. Lain halnya dengan RRC, kepentingan RRC dengan Vietnam karena menyangkut garis perbatasan antar kedua negara yang masih diperdebatkan. Indonesia sendiri menolak proposal Singapore pada Desember 1981 untuk mengirimkan pasukan dari negara-negara ASEAN guna membantu Khmer Merah melawan tentara Vietnam.
Bagi Jenderal Besar Soeharto masalah dalam negeri suatu negara hanya dapat diselesaikan oleh negara itu sendiri sesuai dengan politik luar negeri Indonesia “Bebas Aktif” dimana bersifat “non interference” (tidak campur tangan) bukan berarti “non involvement” (tidak ikut serta). Sikap politik Indonesia ini mendapat simpati dari negara-negara dunia khususnya kedua negara yang berseteru.
Strategi yang dilakukan Presiden Soeharto untuk meredakan ketegangan antara Amerika Serikat dengan Vietnam adalah menjadi mediator bagi terlaksananya “Mission In Action” (pencarian tentara yang AS yang hilang dalam perang Vietnam) pada tahun 1981-1985. 
Sementara itu pada Februari 1984 Presiden Soeharto memerintahkan Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani untuk mengunjungi Vietnam. Lalu pada tahun berikutnya bulan April 1985 Menhan/Pangab Vietnam, Jenderal Van Tien Dung berkunjung ke Indonesia menemui Presiden Soeharto yang didampingi Jenderal LB Moerdani di Bina Graha. Dalam pertemuan itu Presiden menekankan peranan yang sangat penting dari stabilitas nasional dan regional dalam pembangunan bangsa, Indonesia berpegang pada dasasila Bandung, yaitu tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Pernyataan ini merupakan sindiran langsung untuk Menhan/Pangab Vietnam yang melakukan invasi dan mencampuri urusan dalam negeri Kamboja.
Selanjutnya Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Luar Negeri, Mochtar Kusumaatmadja, untuk melakukan negosiasi “dual track” antara Vietnam dengan kelompok Khmer Merah sebagai solidaritas negara-negara ASEAN. Pada tahun 1987 Vietnam yang diwakili Menlu Nguyen Co Thach menyetujui keinginan Menlu Mochtar yang dikenal dengan pertemuan makan-makan atau “coctail party” dengan pimpinan Khmer Merah. 
Pada tahun 1988 pada kesempatan pertamakali “Jakarta Informal Meeting” di Istana Bogor dihasilkan “cocktail party formula”. Lalu pada pertemuan kedua pada Februari 1989 “Jakarta Informal Meeting” disepakati adanya “Mekanisme Kontrol Internasional” untuk Kamboja. Setelah melalui misi diplomatik yang intens akhirnya dilaksanakan Konferensi Internasional untuk Kamboja di Perancis pada bulan Juli tahun 1990 dimana Indonesia diminta untuk menjadi salah satu pimpinan sidang bersama Perancis. Dukungan Presiden Soeharto dan Negara-negara ASEAN inilah perdamaian di Kamboja terwujud dengan bersatunya kelompok-kelompok yang bertikai dengan terwakilinya Kamboja (Coalition Goverment of Democratic Kampuchea) sebagai anggota PBB. Koalisi pemerintahan Kamboja kembali dipimpin oleh pemerintahan bersama Pangeran Norodom Sihanouk dengan Hun Sen.
Pada hari Senin 19 November 1990 Presiden Soeharto bersama Ibu Tien melakukan kunjungan pertamanya ke Vietnam. Upacara penyambutan kenegaraan dilangsungkan di Lapangan Chi Linh, disini Presiden Soeharto dan Ibu disambut oleh Presiden Vo Chi Cong dan Ketua Dewan Menteri Vietnam Do Muoi. Penghormatan kenegaraan yang diberikan pemerintahan Vietnam kepada Presiden Soeharto merupakan penyambutan kenegaraan terbesar yang pernah dilakukan pemerintahan Vietnam selama ini.
Dalam kesempatan kunjungan ini para pemimpin Vietnam menyampaikan keinginannya agar Indonesia bersedia “membimbing” mereka didalam upaya mereka membangun Vietnam. Presiden Soeharto sendiri menyatakan bahwa Indonesia sudah siap untuk membantu  dan membagi pengalamannya dalam menjalankan pembangunan. Kepada mereka Presiden mengatakan bahwa pembangunan memerlukan stabilitas nasional dan kepercayaan negara lain. Untuk itu perlu bagi Vietnam menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan Indonesia di Laut Cina Selatan, dan menyelesaikan masalah Kamboja. Dengan selesainya kedua masalah itu , maka Vietnam akan mendapat kepercayaan negara lain, disamping terbuka peluang bagi Vietnam untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi wilayahnya di Laut Cina Selatan yang kaya akan cadangan minyak dan gas bumi. Dikatakan oleh Presiden bahwa Indonesia siap membantu kegiatan eksploitasi dan eksplorasi itu.
Apa yang telah dilakukan Presiden Soeharto dalam mengakhiri konflik Vietnam – Kamboja tidak saja sekedar menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Presiden Soeharto juga telah membuktikan kepiawaiannya sebagai Jenderal Besar yang mampu memimpin negara-negara sekawasan bahkan dunia. Dan tak kalah pentingnya Presiden Soeharto berhasil menegakkan kedaulatan wilayah laut Indonesia yang berbatasan dengan Vietnam, padahal Vietnam sendiri dengan RRC masih berkonflik masalah perbatasan di Laut Cina Selatan. (Dari Buku Jejak Langkah Pak Harto dan Berbagai Sumber).
————————————————————-
Jumat, 1 Mei 2015
Penulis : Gani Khair
Fotografi : Dokumen Resmi HM. Soeharto
Editor : Sari Puspita Ayu
————————————————————
Lihat juga...