1 Maret 2015, Catatan dari Monumen Jogja Kembali

Pak Gunadi Pemandu wisata di Monumen Jogja Kembali mengenakan baju perjuangan dan janur kuning
Namun, tak banyak pengunjung yang datang untuk belajar sejarah. Selain kondisi di beberapa sudut museum panas, keengganan pengunjung untuk masuk ke museum karena jarak antara pintu masuk dan museum jauh. 
Di empat ruangan museum menyajikan kurang lebih seribu koleksi sejarah Satu Maret, perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Seragam Panglima Besar Jenderal Sudirman juga masih tersimpan rapi di sana.

Siswa SMP 2 Wilangan Nganjuk Jatim
Ada juga ruang Sidang Utama terletak di sebelah ruang musem I berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 25 meter. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang serba guna yang oleh pengelola sengaja disewakan untuk pesta pernikahan atau seminar.
Ada yang unik dalam peringatan SU 1 Maret kali ini, para petugas di Monjali mengenakan seragam layaknya para pejuang di zaman perjuangan. Bahkan semuanya lengkap dengan janur kuning yang melingkar di leher.
“Ini untuk mengenang perjuangan para pendahulu bangsa yang mempertahankan kota Yogyakarta yang kala itu adalah ibukota Indonesia dari tangan Belanda,” ujar Kepala Badan Pengelola Monumen Jogja Kembali (BPMKJ) Herman Josef Sutikno kepada Cendananews.com.

Siswa SMP 2 Wilangan Nganjuk Jatim
Di luar ruangan sebanyak 40 relief juga terpampang dari Utara sampai Selatan saat Cendananews.com akan naik ke lantai dua. Pada dinding itu terukir peristiwa perjuangan bangsa Indonesia mulai dari 17 Agustus 1945 sampai 28 Desember 1949. 
Sejumlah peristiwa penting perjuangan fisik seperti Diplomasi masa Proklamasi Kemerdekaan, kembalinya Presiden dan Wakil Presiden ke Yogyakarta sampai pembentukan Tentara Keamanan Rakyat(TKR) terukir di relief itu.
Di dalam bangunan berisi 10 diorama melingkari bangunan yang menceritakan situasi saat Belanda menyerang Maguwo tanggal 19 Desember 1948, SU 1 Maret, Perjanjian Roem-Royen hingga peringatan Proklamasi 17 Agustus di Gedung Agung Yogyakarta.
Lantai teratas adalah tempat hening atau biasa disebut pengunjung sebagai ruang gelap berbentuk lingkaran. Dilengkapi dengan tiang bendera merah putih. Relief gambar tangan yang mengepal menggambarkan perjuangan fisik di dinding barat. Serta perjuangan diplomasi pada dinding timur.
Juga terdapat ruangan Garbha Graha sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka. Tetapi pengunjung yang datang hanya silih berganti dan lalu lalang melihat-lihat suasana tanpa melakukan dan memfungsikan ruangan itu.
“Seharusnya Monjali yang memberikan jejak sejarah otentik dan memberikan gambaran jelas bagaimana kemerdekaan itu bisa tercapai. Bukan yang selama ini terjadi hanya mendengar sejarah dari guru-guru di sekolah atau cerita dari seorang kakek kepada cucunya,” ungkap Wawan salah seorang pengunjung dari Solo kepada Cendananews.com Minggu (1/3/2015).
Melihat bermacam diorama, sejarah dalam bentuk ukiran relief, koleksi pakaian hingga senjata yang pernah digunakan para pejuang kemerdekaan mengingatkan kembali bagaimana upaya gigih para pejuang untuk meraih kemerdekaan.
Sementara itu Gunadi, pemandu wisata di Monjali mengatakan kepada Cendananews.com  berbagai kegiatan akan dilakukan diantaranya nanti malam  akan ada wayang kulit untuk peringatan serangan umum 1 Maret dengan lakon Wirotho Parwo dengan dalang 5 orang. 
“Nanti akan dipimpin oleh ki Dalang AA Condro Kusumo serta kawan kawannya, lakon tadi artinya tentang kebebasan kemerdekaan dari situasi penindasan,” ujar Gunadi.
Tak hanya itu saja Gunadi mengungkapkan hari ini pun berlangsung pameran keris yang dilakukan untuk menguri uri tradisi leluhur. Sementara untuk upacara peringatan Serangan Umum 1 Maret juga diadakan upacara di Balai Kota Yogyakarta yang dipimpin oleh Walikota Haryadi Suyuti.
—-
Minggu, 1 Maret 2015
Jurnalis : M. Natsir dan Henk Widi
Fotografi : M. Natsir 
Editor : Sari Puspita Ayu
Lihat juga...