Kelima, pada masa pandemi COVID-19, diplomasi kemanusiaan mengambil bentuk baru melalui bantuan kesehatan. Bantuan vaksin, alat pelindung diri, dan peralatan medis dari berbagai negara. Sering berjalan paralel dengan permintaan relaksasi kebijakan imigrasi, perlakuan khusus terhadap warga negara donor, atau percepatan kerja sama ekonomi.
Tekanan ini jarang muncul di ruang publik. Berlangsung melalui komunikasi diplomatik tertutup. Menunjukkan dalam krisis kesehatan global, bantuan tetap berfungsi sebagai modal pengaruh atau alat tekan.
Bagaimana dengan kasus luar negeri?. Mari kita cermati berbagai contoh.
Pertama, program Oil-for-Food di Irak. Menunjukkan bagaimana skema bantuan kemanusiaan internasional dapat terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Program ini dirancang memastikan rakyat Irak memperoleh makanan dan obat-obatan di tengah sanksi internasional. Praktiknya diwarnai praktik suap, manipulasi kontrak, dan penggunaan bantuan sebagai alat tawar-menawar politik.
Kedua, krisis pengungsi Suriah memperlihatkan secara gamblang bagaimana Uni Eropa mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan kesepakatan politik. Bantuan miliaran euro kepada Turki disertai kesepakatan agar Turki menahan arus migrasi ke Eropa. Menjadikan bantuan sebagai instrumen stabilitas politik domestik negara donor.
Ketiga, Amerika Serikat kerap mengombinasikan bantuan kemanusiaan atau pelonggaran sanksi dengan pembebasan warga negaranya yang ditahan di negara lain. Dalam praktik ini, bantuan menjadi bagian dari negosiasi politik dan keamanan.
Keempat, China menggunakan bantuan bencana dan kesehatan sebagai bagian dari strategi diplomasi global. Sering berjalan beriringan dengan permintaan dukungan politik, pengakuan prinsip “One China Policy”, atau akses terhadap proyek strategis. Bantuan dalam konteks ini berfungsi sebagai instrumen legitimasi dan ekspansi pengaruh.