Kedua, kasus Bali Nine memperlihatkan tekanan diplomatik lebih terang dan konfrontatif. Australia kembali menggunakan narasi kemanusiaan dan hubungan historis, termasuk bantuan pascatsunami Aceh untuk meminta pengampunan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Pernyataan Perdana Menteri Australia menyebut Indonesia memiliki “utang moral”. Bantuan tsunami. Memperlihatkan bantuan kemanusiaan diposisikan sebagai argumen politik.
Meskipun pemerintah Indonesia menolak logika tersebut dan tetap melaksanakan eksekusi, kasus ini penting. Menunjukkan bantuan kemanusiaan dapat berubah fungsi menjadi alat tekanan terbuka dalam hubungan bilateral.
Ketiga, kasus Mary Jane Veloso dari Filipina menunjukkan bentuk tekanan diplomatik lebih lunak. Namun efektif. Pemerintah Filipina memanfaatkan narasi kemanusiaan, perdagangan manusia, serta solidaritas ASEAN untuk meminta penundaan eksekusi.
Permintaan ini disampaikan langsung Presiden Filipina dan diperkuat dukungan publik regional. Hasilnya bukan pembatalan vonis, tetapi penundaan eksekusi berlangsung bertahun-tahun. Ini mencerminkan kompromi antara kedaulatan hukum Indonesia dan tekanan diplomatik berbasis kemanusiaan.
Keempat, respons Brasil dalam kasus Marco Archer menampilkan pola tekanan lebih keras. Presiden Brasil secara resmi meminta pengampunan. Setelah permintaan tersebut ditolak, Brasil menarik duta besarnya dari Jakarta. Meski tidak berhasil mengubah putusan hukum.
Langkah ini menunjukkan relasi kemanusiaan dan kerja sama Selatan–Selatan pun dapat berubah menjadi tekanan diplomatik. Ketika kepentingan nasional menyangkut warga negara sendiri.