Contoh paralel bisa dilihat di Madagaskar. Tekanan ekonomi membuat masyarakat menebang hutan kering untuk kayu bakar dan pertanian berpindah. Ketika vegetasi menipis, limpasan meningkat, dan banjir bandang menjadi lebih sering menghantam kawasan perkotaan seperti kota Maroantsetra.
Persoalan banjir bandang tidak hanya soal alam, tetapi juga soal struktur ekonomi masyarakat yang belum menyediakan jalur penghidupan alternatif.
Lebih parah ketika aparat bermain. Dalam literatur environmental governance, Ostrom (1990) dan Ribot & Peluso (2003) menunjukkan kerusakan lingkungan sering tidak sekadar disebabkan masyarakat kecil. Tetapi oleh aktor-aktor kuat (powerful actors) yang memiliki akses kekuasaan.
Solusi pertama adalah mendisiplinkan zona penyangga ekologi (ecological buffer zone). Secara teoritik, konsep ini diperkuat UNESCO melalui program Man and Biosphere (1971). Menempatkan buffer zone sebagai lingkaran pelindung bagi area inti konservasi.
Buffer zone berfungsi menahan tekanan fisik dari aktivitas manusia, mengurangi risiko bencana melalui stabilisasi lahan. Menjadi ruang transisi yang tetap produktif secara ekonomi. Teori ini hanya bekerja efektif jika buffer zone tidak hanya ditetapkan. Tetapi juga diinternalisasi oleh masyarakat.
Contoh keberhasilan dapat dilihat di Korea Selatan. Pasca-Perang Korea mengalami deforestasi parah. Pemerintah kemudian menerapkan Forest Rehabilitation Policy dengan buffer zone ketat dan larangan pembangunan di lereng curam. Hasilnya, hutan Korea Selatan pulih drastis dalam 30 tahun. Angka banjir bandang menurun signifikan.
Gagasan penting berikutnya adalah menghadirkan buffer zone ekonomi. Wilayah tetap menjaga vegetasi sekaligus menjadi ladang ekonomi masyarakat. Ini titik temu ekologi dan kesejahteraan.