Lahan-lahan dengan kemiringan curam, kawasan hutan lindung, atau zona resapan semestinya menjadi benteng ekologi. Tetapi dalam praktik, kawasan tersebut dibongkar untuk hunian atau aktivitas ekonomi jangka pendek.
Ketika manusia “menang” dalam pertarungan itu, vegetasi penahan longsor dan banjir tersingkir. Pohon, semak, dan sistem akar yang seharusnya menstabilkan tanah diganti bangunan, jalan, atau lahan terbuka. Maka tidak mengherankan jika setelah hujan deras, lereng-lereng gundul melepaskan tanah dan kayu. Menciptakan gelombang lumpur yang menghantam wilayah hilir.
Fenomena ini bukan unik Indonesia. Di Nepal, pembukaan hutan di lereng Himalaya untuk permukiman dan pertanian menyebabkan peningkatan signifikan banjir bandang sejak 1990-an. Pemerintah Nepal kemudian menerapkan zonasi ekologis ketat dan rehabilitasi hutan masyarakat (community forest management). Terbukti menurunkan frekuensi banjir dalam dua dekade.Kerentanan ekologi diperparah keterdesakan ekonomi masyarakat. Hutan dekat pemukiman sering kali dianggap sebagai cadangan ekonomi. “ATM” bagi kebutuhan mendesak masyarakat.
Ketika pendapatan seret, lapangan kerja minim, atau kebutuhan mendadak muncul, pohon menjadi sumber uang paling cepat. Dipanen, dijual, lalu lahan dibiarkan terbuka.
Dalam perspektif ekonomi sumber daya alam, khususnya teori “Household Forest Dependency” dari Angelsen dan Wunder (2003), semakin miskin suatu komunitas, semakin tinggi ketergantungannya pada eksploitasi hutan. Bukan pada pemanfaatan jangka panjang berkelanjutan.
Pada titik ini tragedi the poverty-environment trap terjadi. Masyarakat merusak hutan untuk bertahan hidup. Namun kerusakan itu justru membuat mereka semakin rentan terhadap bencana.