Itulah kenapa Presiden Soeharto begitu dekat dan melekat secara emosional di banyak kalangan masyarakat. Dialog itu membawa kenangan tersendiri bagi pelakunya. Bisa berkomunkasi dan menyampaikan aspirasi secara langsung dengan pimpinan tertinggi. Memunculkan perasaan tidak terabaikan oleh pimpinan puncak.
Temu wicara merupakan model komunikasi dua arah. Sedangkan pola komunikasi saat ini cenderung satu arah. Bahkan bisa disetarakan doktrinasi. Presiden melakukan komunikasi dengan masyarakat melalui live streaming, pelaku media, broadcasting, podcast, dan lain-lain. Sentuhan humanistiknya tidak terasa. Rakyat merasa sering terabaikan.
Betulkah begitu?. Komunikasi tatap muka (face-to-face) seringkali lebih efektif dalam komunikasi publik dibandingkan metode non tatap muka?. Mari kita lihat dari perspekstif teoritik.
Media Richness Theory (Teori Kekayaan Media) – Daft dan Lengel (1986). Mengungkapkan jika media itu “lebih kaya” (rich). Mampu menyampaikan sinyal non-verbal, isyarat vokal, umpan balik langsung, dan konteks sosial yang lengkap. Efektif menyampaikan pesan-pesan yang kompleks, ambigu, atau membutuhkan persuasi. Akan tetapi tatap muka merupakan media komunikasi paling kaya. Mencakup seluruh komponen komunikasi: kata‐kata, intonasi, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gestur, kontak mata.
Media Naturalness Theory – Ned Kock. Menyatakan: “manusia secara evolusi lebih terbiasa dengan komunikasi langsung (face-to-face)”. Medium‐medium komunikasi yang menyimpang jauh dari tatap muka (misalnya hanya teks, atau audio tanpa visual) menyebabkan beban kognitif lebih besar. Lebih sulit menyampaikan nuansa. Sering terjadi salah pengertian.