Alur non-conviction based asset forfeiture atau “perampasan aset tanpa vonis pidana terlebih dahulu” adalah: ada dugaan harta tidak sah – diajukan ke pengadilan – pemilik gagal membuktikan asal usul sah – aset dirampas. Jadi bukan asal orang memiliki harta, kemudian dirampas hartanya.
Potensi-potensi pelanggaran hak asasi, pemerasan atau politisasi terhadap pemilik harta, harus diantisipasi melalui UU Perampasan Aset (UU-PA) itu sendiri. Pasal-pasal harus dibuat rigit untuk menghindarkan dari penyalahgunaan aparat. Due process of law atau proses hukum yang adil harus dituangkan dalam UU. Jadi tidak dengan cara menolak total RUU-PA itu.
Kenapa UU-PA mendesak?.
Ada potensi hilangnya aset negara pada rentang menunggu proses hukum pidana. Aset bisa dijual, dipindahkan, atau nilainya turun. Oleh karena itu, aset dirampas terlebih dulu.
Mengantisipasi kaburnya koruptor atau meninggal. Hilangnya jejak pelaku, menjadikan aset “terkunci”. Menggunakan UU-PA, harta koruptor itu bisa dirampas melalui gugatan perdata. Contoh: Sjamsul Nursalim & Itjih Nursalim (BLBI) di luar negeri. Sulit diproses pidana.
Pemberantasan korupsi tidak hanya fokus menghukum. Melainkan juga memulihkan kerugian negara. Dalil koruptor: “tidak masalah dipenjara, asal mengantongi aset tujuh turunan” menjadi tidak berlaku. Ketakutan para koruptor adalah ketika kehilangan harta. Melalui UU-PA, kerugian negara bisa dipulihkan.
Menutup celah pencucian uang & “asset laundering”. Koruptor sering memindahkan asset. Menggunakan nama nama keluarga atau nominee. Ialah pihak yang bertindak atas nama orang lain. UU-PA memungkinkan penyitaan aset yang tidak wajar dan diatasnamakan orang lain. Kasus pencucian uang seringkali dilakukan melalui rekening kerabat atau perusahaan cangkang.