Jika dilihat proporsinya, politisasi kemungkinan 45%, konspirasi jual beli pasal bisa jadi porsinya 55%. Tentu jika salah satu dari keduanya terjadi. Karena keduanya sama-sama asumsi. Apa yang disampaikan Prof. Mahfud sebagai “adanya politisasi” juga asumsi. Faktanya praperadilan yang ditolak.
Memang benar, kesalahan mengadili pernah terjadi di negeri ini. Kasus Sengkon-Karta. Tapi Lembong dan Hasto bukan Sengkon-Karta. Mereka (Hasto-Lembong) elit politik. Berlaku asumsi dalam kasus ini: “hukum tunduk pada hegemoni politik”.
Jika kemungkinan pertama yang terjadi: politisasi, maka Abolisi dan Amnesti sudah tepat. Jika kemungkinan kedua: “permainan pasal dalam penuntutan”. Itu hanya sebuah sekenario penciptaan alasan meyakinkan presiden mengeluarkan Abolisi-Amnesti. Terkonfirmasi dari statemen lawyer Hotman Paris, mengaku menelpon Seskab Mayor Tedy. Menyampaikan bahwa peradilan dalam kasus itu tidak benar. Presiden perlu ambil tindakan.
Sebagaimana kita tahu, Abolisi dan Amnesti kemudian dikeluarkan presiden.
Tindakan itu memunculkan citra negatif atas diri presiden dalam pandangan sejumlah kalangan. Ialah mengeluarkan Amnesti dan Abolisi untuk kasus korupsi. Kontradiksi dengan komitmennya selama ini memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Citra negatif itu segera tertutup oleh ketegasan presiden terhadap kasus Noel. Narasi dan imajinasi publik segera berubah. “Ternyata presiden masih memiliki komitmen memberantas korupsi”. Buktinya Noel diberhentikan.Noel, penyelamat citra presiden. Untuk sementara waktu.
- ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)