Kasus Hasto juga dinarasikan tidak terbukti melakukan obstruction of justice. Drama persembunyian Harun Masiku berbulan-bulan yang dikaitkan dengan peran Hasto, diabaikan begitu saja.
Narasi dukungan terhadap Abolisi (Lembong)-Amnesti (Hasto) tidak memiliki parameter eksak. Bersifat dugaan, asumsi, atau perspektif konspiratif. Terutama jika dikonfrontasikan denga tiga hal.
Pertama, sistem peradilan di Indonesia, dibangun berdasarkan sistem yang kuat. Berlapis.
Pasal 1 angka 14 KUHAP: “Tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Pasal 6 KUHAP: Penyidik wajib menetapkan tersangka jika bukti permulaan cukup.
Kedua, adanya penolakan praperadilan.
Tanggal 13, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menolak praperadilan Hasto. Tanggal 26 November 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menolak praperadilan Lembong.
Ketiga, pengadilan memutus bersalah. Berarti ada mens rea. Dikenal melalui asas hukum: nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Tidak ada suatu perbuatan yang bisa dihukum, jika tidak diatur sebagai tindak pidana dalam undang-undang.
Maka narasi “tidak ada mens rea” dan tidak terbukti adanya obstruction of justice menyiratkan dua kemungkinan. Pertama benar apa kata Prof Mahfud, ada politisasi. Akan tetapi ketika dikonfrontasi dengan sistem peradilan (keharusan dua alat bukti permulaan yang cukup) dan penolakan praperadilan, bisa saja diduga ada sebab lain. Itu menjadi kemungkinan sebab kedua. Selain kemungkinan politisasi.
Kedua, kemungkinan adanya jual beli pasal. Penghilangan sejumlah rangkaian fakta. Untuk merendahkan tuntutan. Agar bisa digunakan membangun narasi bahwa peradilan itu politisasi hukum.