Wajah Ummat Islam Indonesia

Porsi 20% energi ummat Islam Indonesia terjebak dalam pertengkaran “Politik Identitas dan Polarisasi Umat”. Bisa disajikan contohnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 – Isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memicu mobilisasi politik berbasis agama dan sektarianisme. Pemilu 2019 – Polarisasi antara pendukung Jokowi vs Prabowo dengan simbol-simbol keislaman seperti “212”, “ulama vs cebong”. Juga pada pilpres 2024. Reuni 212 – Ajang konsolidasi umat yang kerap dipandang lebih sebagai gerakan politik dibanding dakwah spiritual. Gerakan anti penistaan agama penting. Pembelokannya sebagai gerakan politik identitas menjadi masalah baru yang menguras energi ummat.

Kemunculan tema-tema itu (politik identitas) sebenarnya pertanda kemunduran gerakan ummat yang terjadi pada era reformasi. Era sebelumnya, dikursus diusung generasinya Cak Nur (Dr. Nucrcholis Madjid) sudah pada taraf “Islam dan modernisme”.  Perpacuan pembangunan peradaban ummat berbasis sains dan teknologi serta otentisitas ajaran Islam. Tidak terjebak “Islam Labelistik” dan pertengkaran-pertengkaran furu’iyah. Maka muncul banyak barisan cendekiawan muslim berpacu dalam kontribusinya bagi kemajuan peradaban Ummat Islam. Era reformasi, ummat Islam terjebak lagi pada “Politik Identitas dan Polarisasi Umat”.

Isu “Relasi Islam dan Negara (Sekularisme vs Islamisme)”, juga sudah selesai pada generasinya Cak Nur. Narasi “Peradaban Madani” yang diusung Cak Nur telah memudarkan kecurigaan dan antipati antara Islam dan Negara. Isu yang sebelumnya mencuat pasca kemerdekaan hingga tahun 70-an. Bahwa esensi peradaban Pancasila adalah elaborasi peradaban Madinah. Konstruksi peradaban yang dibangun Rasulullah Muhammad Saw. Maka tidak ada pertikaian lagi antara Islam dan Negara Pancasila. Era reformasi justru dimunculkan kembali diskursus khilafah. Pertengkaran tema ini menyedot energi umat hingga 15%. Hanya soal perdebatan teknik bernegara.

Lihat juga...