Sumodiningrat: Malaikat Bersorban di Medan Perang, Macan Jawa Gugur di Masjid
OLEH YULIANTORO
Berbeda dengan sebagian bangsawan yang hanya berpihak pada mahkota, Sumodiningrat membaur dengan rakyat.
Ia melatih pasukan rakyat di Plered dan Imogiri, membantu distribusi pangan rakyat saat masa krisis, dan menolak segala bentuk penindasan terhadap petani.
Ia dianggap sebagai “Kanjeng wong cilik” — bangsawan yang menjadi pelindung kaum jelata.
Menurut KH Fathurrahman (budayawan Tirtodipuran): “Sumodiningrat itu bukan hanya singa perang, tapi juga pelita rakyat. Ia tidak mencintai tahta, tapi mencintai tanah air dan orang miskin.”
Sumodiningrat wafat pada 20 Juni 1812 dalam pertempuran berdarah.
Ia dimakamkan di Makam Jejeran, Dusun Jejeran, Desa Wonokromo, Plered, Bantul, tepat di samping Masjid Mi’rajul Muttaqin.
Kompleks makam itu kini sederhana, tapi menyimpan energi spiritual besar. Banyak peziarah datang, terutama pada malam Jumat Kliwon.
Ia tidak meninggalkan kitab, tidak mendirikan pesantren. Tapi meninggalkan teladan hidup sebagai ulama–panglima–abdi rakyat.
Ketika sejarah melupakan, rakyat Jejeran tetap mengingatnya dengan doa. Ia lahir dari darah raja, hidup bersama rakyat, dan wafat dalam masjid.
Ia tidak sekadar Sumodiningrat, ia adalah Singo Barong dari langit yang gugur bukan demi tahta, tapi demi kehormatan. ***
Yuliantoro, pemerhati kebudayaan, tinggal di Bantul, Yogyakarta