Sumodiningrat: Malaikat Bersorban di Medan Perang, Macan Jawa Gugur di Masjid
OLEH YULIANTORO
Banyak bangsawan ciut, menyerah sebelum bertarung. Tapi tidak dengan Sumodiningrat.
Ia memimpin langsung barisan perlawanan, bermarkas di sebelah barat Kali Code dan tenggara keraton.
Ia menolak kabur. Ia menolak kompromi. Ia memilih berperang bersama rakyat — santri, petani, prajurit, abdi dalem.
Ketika benteng keraton roboh, Sumodiningrat bertahan di Masjid Cepuri Selatan, terus melawan sampai embusan napas terakhirnya.
Ia ditemukan wafat dalam posisi sujud. Sebuah kematian yang bukan kekalahan, tapi kemenangan spiritual.
Sumodiningrat dikenal sebagai sosok yang sederhana meski berdarah biru. Ia tidak hidup mewah.
Ia lebih banyak tinggal di luar keraton, menyatu dengan masyarakat Jejeran, Plered, dan Kedu.
Menurut H. Imam Subakir, juru kunci makam Jejeran: “Beliau bukan hanya panglima, tapi juga kiai. Tirakatnya kuat. Puasa mutih sebelum perang. Orang sini anggap beliau wali.”
Ia menjalani tirakat, menyepi, dan berzikir. Ia dikenal hafal banyak ayat Alquran dan menguasai ilmu fiqih serta tasawuf.
Bahkan disebutkan, ia lebih sering berada di langgar kecil daripada di istana megah.
Guru Spiritual dan Keprajuritan
Jalur keilmuan dan keprajuritan Sumodiningrat bersumber dari dua tokoh penting: Guru spiritualnya adalah Kiai Wiryokusumo, ulama besar istana Yogyakarta, serta Kiai Rifai Kedu, ulama sufi yang kelak mendirikan gerakan Tarekat Rifaiyah.
Guru militernya adalah Pangeran Notokusumo, komandan pasukan keraton dan ayah dari Paku Alam I, ahli strategi gerilya.
Kombinasi ini menjadikan Sumodiningrat sebagai figur langka: seorang alim yang tak gentar turun ke medan perang.
Keberpihakan kepada Rakyat