Sumodiningrat: Malaikat Bersorban di Medan Perang, Macan Jawa Gugur di Masjid

OLEH YULIANTORO

ESAI BUDAYA – Di balik gemerlap sejarah keraton Yogyakarta, nama Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat berdiri seperti monumen yang dilupakan.

Ia bukan hanya bangsawan. Ia adalah kesatria sufi, pemimpin pasukan, dan abdi rakyat.

Ia bukan hanya pahlawan yang gugur dalam pertempuran, tapi syuhada sejati yang mengembuskan napas terakhirnya di tengah masjid, berselimut debu jihad dan doa-doa sunyi.

Yuliantoro. Foto: Dok Pribadi

 

Saat Geger Sepehi — invasi brutal Inggris dan pasukan bayaran India (Sepoy) — mengguncang Yogyakarta pada 1812, Sumodiningrat adalah dinding terakhir antara kehormatan Jawa dan kolonialisme.

Tapi siapa sebenarnya sosok ini?

Sumodiningrat lahir sekitar 1760-an di Kedu Selatan. Ia adalah putra KRT Jayaningrat, Bupati Kedu Selatan, dan ibunya adalah Raden Ayu Jayaningrat, putri dari Sultan Hamengkubuwono I.

Itu menjadikan Sumodiningrat sebagai cucu Sultan HB I—bangsawan berdarah murni Mataram.

Kehidupan Sumodiningrat bukan sekadar kemewahan istana.

Ia tumbuh dalam didikan spiritual yang ketat, dekat dengan kalangan ulama keraton.

Bahkan kelak, ia menikahi Gusti Kanjeng Ratu Bendara (GKR Bendara), putri Sultan Hamengkubuwono II, menjadikannya juga menantu langsung raja.

Dari pernikahan dengan GKR Bendara dan istri lainnya, Sumodiningrat memiliki sejumlah anak, di antaranya adalah Tumenggung Sumonegoro, yang kelak juga dimakamkan berdekatan dengannya di Jejeran, Bantul.

Geger Sepehi: Barisan Akhir Sang Singa

Pada Juni 1812, pasukan Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta.

Lihat juga...