Sepuluh Kesalahan Reformasi 1998

IKN dinilai dimulai tanpa konsensus nasional, rawan dihentikan. Tidak ada visi industri jangka panjang; hilirisasi tambang bisa berhenti mendadak. Rencana pembangunan berubah tiap kabinet (Nawacita, RPJMN, dll, tidak mengikat presiden berikut). Ketahanan energi dan pangan tidak dirancang 25–50 tahun ke depan. Proyek strategis nasional kerap dipolitisasi.

Transisi presiden Jokowi – Prabowo dinarasikan sebagai keberlangsungan. Faktanya ada pergeseran fundamental. Agresivitas pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi bergeser fokusnya menjadi daulat pangan, daulat energi, revolusi SDM dan industrialisasi pada era Presiden Prabowo.

Kedua, desentralisasi dan otonomi daerah tanpa pengawasan: menempati porsi 13 %. Sebanyak 300+ kepala daerah tersangkut korupsi,. Otonomi dimanfaatkan sebagai monopoli keluarga/dinasti lokal. Dana desa banyak diselewengkan (ada desa fiktif). Ketimpangan antar daerah melebar; ketergantungan pada pusat tetap tinggi. Pemekaran wilayah dipicu kepentingan politik, bukan efektivitas.

Ketiga, Demokrasi prosedural tanpa substansi (12%). Politik uang masif dalam pemilu (serangan fajar jadi lazim). Calon pemimpin ditentukan DPP partai, bukan konstituen rakyat. Lemahnya kontrol rakyat setelah pemilu (representasi semu). Voter apatis karena tidak percaya pada wakil rakyat. Parlemen lebih loyal ke partai daripada ke konstituen.

Keempat, Liberalisasi ekonomi tanpa strategi kedaulatan nasional (11%). Banyak aset strategis dijual ke asing pasca 1998 (telekomunikasi, bank). UMKM tergencet produk impor dari China dan negara lain. Pasar digital dikuasai perusahaan asing (e-commerce, ride hailing). Omnibus Law mengutamakan investasi asing, mengurangi perlindungan buruh. Impor pangan dan energi tetap dominan meski Indonesia potensial swasembada.

Lihat juga...