Era Reformasi (1998–2014). Memasuki era demokratisasi, keterbukaan. Juga era kritik terhadap apa yang disebut sebagai “indoktrinasi masa Orde Baru”. Terdapat penurunan antusiasme terhadap Pancasila karena diasosiasikan dengan otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu menyeruak munculnya beragam tantangan ideologis: liberalisme, radikalisme, dan pragmatisme.
Lambat laun Pancasila dirindukan. Mulai dibahas kembali secara kritis dan kontekstual di kalangan akademik dan masyarakat sipil. Metode penyebaran disekolah dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan menggantikan P4, dengan pendekatan lebih dialogis. Sedangkan non sekolah dilakukan melalui diskursus publik melalui LSM, seminar, dan media. Tidak sesistematis dan semasif era Orde Baru.
Era Kontemporer (2014–sekarang) – Era Digital dan Disrupsi. Ditandai menguatnya tantangan identitas, intoleransi, globalisasi digital. Transformasi Pancasila dilakuan pemerintah dengan membentuk kBPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) pada 2017. Pancasila diposisikan kembali sebagai living ideology (ideologi yang hidup dan relevan). Penekanan pada aktualisasi nilai dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar hafalan. Metode di sekolah: Kurikulum Merdeka memuat Profil Pelajar Pancasila, fokus pada karakter dan nilai. PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) diperkuat. Sedangkan Non Sekolah dilakukan dalam bentuk kampanye media sosial, konten kreatif, festival Pancasila, pelatihan komunitas, dan kolaborasi dengan tokoh agama/budaya.
Nilai-nilai Pancasila yang ditransformasikan adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa – toleransi, kebebasan beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab – anti diskriminasi, penghargaan HAM. Persatuan Indonesia – semangat kebangsaan di tengah keberagaman. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan – demokrasi partisipatif. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – keadilan ekonomi, kesetaraan akses layanan. Berupa penggalan-penggalan nilai. Belum secara utuh dan komrehensif.