Banjir Trenggalek dan Pendekatan Agroforestri

Revitalisasi dan konservasi daerah tangkapan air di lereng pegunungan sangat diperlukan. Untuk mengurangi kecepatan limpasan air. Langkah kedua membuat sebanyak mungkin biopori atau sumur resapan di areal pemukiman penduduk. Normalisasi berkala saluran air atau sungai. Pembuatan kolam retensi atau embung-embung denga memanfaatkan lahan-lahan desa yang kosong.

Partisipasi masyarakat untuk melakukan langkah-langkah di atas juga sangat menentukan. Intinya dibuat skenario kolektif agar air dari lereng pegunungan sebanyak mungkin bisa ditahan selama mungkin dan tidak menghantam daerah datar secara bersamaan.

Memori saya, lereng-lereng pegunungan di Trenggalek ditanam singkong, pinus dan jati. Singkong diperuntukkan sebagai sumber perekonomian masyarakat. Ternyata tanaman itu memang rapuh dan tidak efektif menahan air. Maka sering terjadi banjir. Masa kecil saya dikenal dengan istilah “babad alas”. Untuk menanam singkong dan padi gogo di lereng-lereng gunung. Di Trenggalek

Singkong akarnya tunggang, pendek dan tidak menyebar luas. Jati daunnya mudah rontok, khususnya musim kemarau. Ketika musim hujan tiba, tidak ada penutup tanah. Maka rawan longsor. Sedangkan pinus, daunnya jarum. Tidak efektif juga menahan banjir.

Agroforestri menjadi salah satu solusi dalam revitalisasi dan konservasi daerah tangkapan air di lereng pegunungan. Ialah konsep gabungan tanaman hutan dan pertanian yang bernilai ekonomis. Hutan tidak hanya dipertahankan sebagai fungsi ekologi. Melainkan juga fungsi ekonomi.

Untuk revitalisasi dan konservasi daerah atas (perbukitan bagian atas) bagus ditanam Sengon, Alpukat dan Petai. Daerah tengah bagus ditanam Kopi, Jengkol, Jeruk. Lereng bagian bawah: Jahe, Porang, Cabe atau Bambu. Untuk penutup tanah bagus ditanam kacang dan lamtoro. Begitu kata riset digital itu. Perlu revolusi dalam revitalisasi dan konservasi lereng-lereng Trenggalek. Di ganti tanaman.