Kenapa selalu terulang banjir itu. Sudah puluhan tahun tanpa solusi. Ritual pengungsian selalu terjadi. Curah hujan tinggi memang sudah menjadi siklus. Tidak bisa dihalangi. Beda dengan banjir. Mestinya bisa direkayasa. Agar tidak terlalu merugikan masyarakat.
Ketika mengikuti detik-detik datangnya banjir semalam, terbersit rekaman saya tentang Trenggalek. Ialah daerah basin, dikepung lereng-lereng pegunungan dari jarak dekat. Menyisakan daerah datar dalam area tidak terlalu luas. Ketika curah hujan tinggi, jutaan (mungkin miliaran) galon dari lereng-lereng itu menghantam daerah datar sekuat-kuatnya. Dalam waktu singkat sebanyak-banyaknya air berkumpul di area datar itu. Sungai tentu saja tidak bisa menampung. Terjadilah banjir.
Bagaimana solusinya. Bendungan berbiaya mahal ternyata tidak efektif. Banjir masih saja terjadi. Terbersit: mungkin “Kanal Banjir Kaki Gunung” (KBKG), bisa menjadi Solusi. Kanal-kanal itu menjadi penahan luncuran derasnya air dari lereng pegunungan. Untuk langsung diarahkan ke saluran pembuangan pada sungai-sungai besar. Setidaknya mengurangi hentakan kuat debit air dalam jumlah besar menghantam kota secara bersamaan.
Tapi apa benar “imajinasi” itu. Belum lagi biayanya besar. nTergeraklah kemudian riset secara digital. Termasuk menemukan jawaban-jawaban melalui AI. Artificial Inteligent.
Ternyata untuk kontur kota seperti Trenggalek, infrastruktur skala besar seperti Bendungan bukan solusi utama. Dari ancaman banjir. Melainkan pendekatan dengan “kombinasi antara konservasi hulu (lereng), manajemen air di hilir (pemukiman), dan partisipasi aktif masyarakat”.