Kepemimpinan rezim tidak mungkin hanya produk perorangan. Memerlukan penyangga politik untuk menopang eksistesinya. Begitu pula dengan rezim Jokowi. Ia disangga eksistensinya oleh PDIP. Bahkan ia diperlakukan sebagai “petugas partai”. Kewenangan konstitusinya sebagai presiden hendak atau bahkan dikudeta oleh otoritas ketua partai.
Pada eranya, menteri kabinet, posisi strategis BUMN, kepala daerah banyak dari PDIP. Loyalitasnya diorkestrasi kepada partai. Bahkan Presiden sendiri diperlakukan sebagai petugas partai. Jika di antara mereka membuat kesalahan. Tidak mungkin dibebankan kepada Presiden Jokowi seorang. Itu kesalahan rezim. PDIP ada didalamnya. Tidak adil jika Presiden Jokowi dikuyo-kuyo untuk menanggung beban sendirian.
Mungkin itu makna yel-yel “hidup Jokowi”. “Ndasmu”. Presiden Prabowo menegaskan dirinya anti politik kuyo-kuyo. Mengajari dengan keras untuk tidak bersahabat dengan perilaku politik kuyo-kuyo.
Ia tidak risau dianggap atau diopinikan disetir Presiden sebelumnya itu. Ia sudah kuasai keadaan spenuhnya. Ia hanya tidak ingin peradaban kuyo-kuyo itu tetap ada. Ia pernah merasakan bagaimana menderitanya kuyo-kuyo itu.
Mungkinkah begitu tafsir bebasnya ???.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)