Artinya peringatan keras. Bahwa perilaku itu tidak baik, menguyo-uyo harus dihentikan. Kalau diingatkan dengan baik-baik tidak bisa, kamu —pelakunya– juga tidak lebih baik. Pantas disematkan kata-kata kasar. “Ndasmu”. Mungkin begitu jika ditafsirkan secara terbuka.
Kenapa Presiden Prabowo melakukan kontra narasi itu?
Ia merupakan korban politik kuyo-kuyo itu. Beberapa dekade lamanya. Tentu paham betul arti di-kuyo-kuyo. Tidak enak. Tau betul menderitanya di-kuyo-kuyo.
Dituduh hendak kudeta, penculik aktivis, pelanggar HAM berat, militeristik, rasis anti Cina. Di band di negara-negara barat. Tidak disukai negara-negara barat. Berikut sejumlah stigma negatif lainnya. Ia diancam tumpes kelor (dihabisi). Maka ia sempat mengungsi ke Yordania. Selama lebih dua dekade. Ia dibenamkan dalam politik kuyo-kuyo itu.
Isu-isu yang menguyo-uyo Pabowo selalu muncul secara lebih massive ke permukaan. Ketika ia melakukan kontestasi politik. Bahkan sisi-sisi kelemahan keluarganya selalu dieksploitasi. Ia dan keluarganya direndahkan sedemikian rupa. Dengan seburuk-buruknya citra atau image.
Tampaknya ia tidak mau mengulangi perilaku itu. Kini ia berkuasa. Ia pastikan ia tidak melakukan politik kuyo-kuyo itu. Bahkan berusaha memastikan politik kuyo-kuyo itu tidak ada lagi.
Jokowi, bagaimanapun mantan Presiden RI dua periode. Baik atau buruk ia wajah RI dalam sejarah bangsa. Selamanya. Jika memiliki kesalahan hukum, tersedia mekanisme untuk membuktikannya. Bukan dengan cara di bully. Kuyo-kuyo terhadapnya berarti kuyo-kuyo terhadap bangsa sendiri.
Presiden Prabowo barangkali juga belajar dari perilaku serupa dalam sejarah bangsa. Banyak elemen bangsa melakukan “kuyo-kuyo” terhadap para pendahulu bangsa. Ternyata tidak membuat bangsa ini menjadi baik. Justru terjebak ketegangan kebangsaan dalam rentang panjang. Bukan atmosfer yang produktif untuk mengejar kemajuan.