Kasus transmigrasi juga dipandang melalui angle sempit. Indonesisa dipersalahan sebagai kebijakan kolonialiasasi. Faktanya transmigrasi sudah berlangsung sejak era kolonial Belanda. Era sebelum Pepera (penentuan pendapat rakyat). Itu menunjukkan kebutuhan tak terhindari tanah Papua oleh orang-orang non Papua. Kemajuan wilayah memerlukan ketersediaan sumberdaya memadai. Sebagai pembanding kasus, Papua New Guinea berbicara banyak. Negara itu tidak lebih baik kemajuannya dibanding Papua. Bahkan selalu dalam format neokolonial. Di bawah asistensi Australia. Walaupun secara formal berdiri sebagai negara mandiri.
Kedua, genosida. Dinarasikan terjadinya pemerosotan secara signifikan jumlah orang asli Papua (OAP) oleh proyek genosida. Opini ini tentu tidak berdasar. Tidak ada perang etnis di Papua. Tidak ada pembersihan OAP. Pernikahan silang antara OAP dengan di luarnya atas dasar kerelaan. Bukan atas dasar paksaan. Penegakan hukum atas tindak kriminal, tidak bisa diperluas maknanya sebagai genosida.
Ketiga, rasisme konsepsi kebangsaan. Pengusung gerakan sparatisasi menarasikan benturan antara ras Melanisia dengan di luarnya. Bahwa konsepsi kebangsaan itu dipahami berdasarkan ras.
Pada kasus Indonesia, konsep Nationale Staat atau negara bangsa sudah mengesampingkan konsep Ernest Renan maupun Otto Bauer. Keduanya dinilai pendiri negara sebagai konsep kadaluwarsa (verouderd).
Renan menyebut syarat bangsa adalah adanya kehendak untuk bersatu: “le desire d’ etre ensemble”. Segerombolan manusia yang mau bersatu atau yang merasa dirinya bersatu. Sedangkan Otto Bauer mengemukakan konsep bangsa sebagai “persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Konsep itu dinilai kadaluwarsa karena dikemukakan sebelum munculnya disiplin ilmu geopolitik. Maka tidak dikenal lagi konsepsi kebangsaan yang didasarkan oleh ras. Sebuah konsepsi kebangsaan yang bersifat rasis.