Spirit tidak serba kolonial itu seharusnya juga berwujud dalam bentuk rel kereta baru trans Sumatera-Jawa-Bali-NTT. Kalimantan. Sulawesi. Papua. Jalan poros Jawa tidak hanya jalan Deandles. Melainkan dilengkapi jalan lintas selatan Jawa yang kaya potensi.
Pabrik-pabrik warisan Belanda seharusnya juga sudah berganti. Industri-industri berbasis karya anak negeri. Mindset tidak serba kolonial itu seharusnya diterjemahkan hingga level bawah. Bukan hanya soal Istana.
Sebutan IKN juga mengundang polemik. Istilah itu bisa diartikan sebagai “Ibukotanya Nusantara”. Jadi negara ini juga harus berganti nama. Repubik Indonesia (RI) menjadi Republik Nusantara (RN). Kata Indonesia tidak serba bangsa sendiri. Diintroduksi ilmuwan-ilmuan luar negeri era kolonial.
Bagi pihak pro perubahan menjadi RN: “Republik Nusantara”, didasarkan pada alasan berikut:
Pertama, diksi “Nusantara” mencerminkan realitas faktual kebangsaan sebagai archipelgic state. Negara kepulauan. Kedua, kata “Nusantara” mencerminkan kekitaan berbasis kemajemukan. Sebagai himpunan beragam suku, bahasa, tradisi, budaya dan keyakinan. Ketiga, menghindari penyanderaan memori buruk masa lalu. Kata Indonesia mencerminkan sejarah ketertundukan bangsa Nusantara atas bangsa lain. Oleh karena itu perlu diganti. Keempat, sebagai branding masa depan. Reposisi sebagai bangsa maritim dengan potensi besar.
Bagi pihak kontra, memiliki alasan berikut:
Pertama, sudah terbangun identitas. Nama Indonesia telah menjadi simbol persatuan. Bahkan sumpah pemuda menggunakan diksi “Indonesia”. Bertumpah darah, berbangsa, berbahasa yang satu. “Indonesia”. Secara internasional nama Indonesia sudah familiar bagi khalayak luas