Kitab nasab pertama yang mencatumkan adalah Tuhfatudh Dholib fi Manaqib Ba ‘Alawi. Kitab ini disusun internal klan Baalwi.
Tidak adanya catatan kitab nasab, terkait ketersambungan Ubaidillah dengan Imam Al Muhadjir selama 4-5 abad, cukup bagi Kyai Imadudin membatalkan klaim sepihak Baalwi. Diduga klaim itu rekayasa. Sebuah klan yang jalur nasabnya dicangkok kepada Rasulullah Saw.
Polemik nasab ini sebenarnya merupakan diskursus antara doktrin, konsep teoritik dan pembuktian.
Kecintaan terhadap Dzuriah Rasul dan keterkaitan nasab merupakan dua hal berbeda. Keduanya sering dicampuradukkan.
Ajaran kecintaan terhadap dzuriah Rasulullah Muhammad Saw., merupakan doktrin. Sedangkan keterkaitan nasab merupakan domain pembuktian.
Doktrin merupakan ajaran atau prinsip yang dianggap dan diyakini benar oleh suatu kelompok atau organisasi. Islam mengajarkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah Muhammad SWT (QS 42:23).
Kecintaan itu dalam kerangka ketaatan sebagaimana batasan Al Qur’an dan Hadist. Bahkan Rasul mengingatkan kepada putrinya, bahwa ia tidak cukup menjadi pembela dihadapan Allah Swt.
Artinya tidak ada privilage untuk menyimpang dari ketentuan Allah Swt. Bahkan para ulama mengingatkan kecintaan itu harus dalam batas wajar.
Berdasarkan Tuhfatudh Dholib fi Manaqib Ba ‘Alawi, klan Baalwi mengklaim ketersambungan nasabnya kepada Rasulullah Saw. Klaim itu menjadi doktrin.
Sejumlah elemen ummat menempatkan klan ini pada ketentuan Al Qurán ayat 42:23 itu. Harus dicintai. Bahkan apresiasinya kadang berlebihan.
Adapun teori merupakan serangkaian konsep, definisi, dan proposisi saling berkaitan untuk menjelaskan atau memprediksi fenomena tertentu. Secara teoritik, nasab (genealogi) merupakan sejarah asal usul keluarga. Pengakuan akurasi nasab diperoleh melalui berbagai metode.