Gerakan tajdid-nya bersifat elitis. Pada amal usaha sektor-sektor modern. Tidak memiliki gerakan kultural yang dominan. Keanggotaan ormas ini menjadi kurang mengakar jika dibanding NU. Kuat dalam amal usaha. Akan tetapi basis masa keanggotaannya tidak mengakar merata.
Kembali ke NU.
Label tradisionalisnya telah dan sedang mengalami titik balik. Realitas ini jarang disadari banyak pihak. Titik balik itu dipicu bebera hal.
Pertama, booming SDM NU berpendidikan formal. Hingga pendidikan tinggi. Merupakan buah keberhasilan transformasi lembaga-lembaga pendidikan NU bersinergi dengan lembaga-lembaga pendidikan formal. Seiring pula keberhasilan negeri ini membangun lembaga-lembaga pendidikan.
Generasi pelajar NU semakin banyak memiliki kesempatan melanjutkan studi pada jenjang perguruan tinggi. Menjadikan SDM-nya mampu bersaing dan diterima pada institusi-institusi modern. Baik pada lembaga pemerintah maupun swasta.
Kedua, demokratisasi politik melalui reformasi. Sistem politik berubah menjadi kompetisi elektoral secara terbuka. Situasi ini menguntungkan NU dengan penguasaanya pada kantong-kantong elektoral. Jumlah massa NU yang relatif besar menjadi bargaining kanalisasi trasformasi struktural warga NU pada kelembagaan politik formal.
Dua perubahan itulah: transformasi pendidikan formal dan demokratisasi sistem politik, melontarkan banyak warga NU dari posisinya tradisionalis menjadi modernis. Label tradisionalis tidak lagi akurat disematkan padanya lagi.
NU bahkan memiliki potensi menjadi ormas masa depan. Bagi Indonesia maupun komunitas muslim global.
Pertama, kesetiaannya pada keilmuan ke-Islaman bersanad. Menjadikannya memiliki basic hujjah keagamaan kuat. Berdasar sumber-sumber otentik ajaran Islam. Sebagaimana kalangan salafus sholih memahami ajaran Islam.