Skenario Jebol Kabinet, Kenapa Beda 1998?
Oleh : Abdul Rohman Sukardi
Salah satu cara menghukum pembelotan Presiden Jokowi dari statusnya sebagai “petugas partai” adalah melalui skenario “jebol kabinet”. Cara itu dinilai sejumlah pihak sebagai langkah efektif menghambat “Jokowi Effect”. Ialah pergeseran suara pemilih dari capres yang didukung partai kepada capres yang didukung Presiden Jokowi.
Langkah itu pernah diterapkan pada kasus berhentinya Presiden Soeharto tahun 1998. Empat belas menteri menyatakan mundur serentak. Efektif. Presiden Soeharto kemudian juga menyatakan berhenti. Bergantilah rezim yang sudah bertahan lebih 30 tahun itu.
Tapi kenapa skenario jebol kabinetnya Jokowi memudar?. Maju mundur. Tampak ragu diterapkan. Hingga seminggu jelang pemilihan, hanya Menkopolhukan yang menyatakan berhenti dari kabinet. Itupun bukan menteri yang di endorse PDIP. Lebih karena “intimidasi moral” karena ia sebagai cawapres.
Tidak etis dan tidak bermoral kalau tidak mundur. Setidaknya menurut sejumlah pihak.
Elektabilitas capres yang didukung Presiden Jokowi justru terus menanjak. Skenario “jebol kabinet”, tidak lagi dipandang sebagai cara efektif. Kenapa?
Setidaknya ada dua alasan.
Pertama, prospek masa depan politik. Peristiwa 1998 merupakan persimpangan jalan sebuah rezim. Bertahan atau berdamai dengan kehendak rakyat.
Presiden Soeharto sudah sejak lama menyatakan niat untuk berhenti. Setidaknya sejak 1996 sudah muncul isu suksesi. Kemunculan itu tidak dihambatnya. Sampai mengkristal tahun 1998.
Ibu Tien bahkan memberi sinyal kepada elit-elit Golkar. Presiden Soeharto jangan dibebani memanggul jabatan lagi.
Maka ketika tuntutan rakyat menghedaki Presiden Soeharto berhenti, ia tidak lama meresponnya. Dilemanya adalah bagaimana cara mempertahankan skenario *“tinggal landas”*-nya orde baru. Presiden Soeharto memandang, tahun 2000 sebagai batas aman. Indonesia lebih kuat untuk tegak sebagai bangsa mandiri. Indonesia harus stabil melewati tahun itu.