Kampus atau civitas akademika idealnya merupakan penggerak perjuangan nilai-nilai universial. Termasuk dalam dimensi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan.
Kampus harus terhindarkan dari fungsinya sebagai amplify (penyuara ulang) kepentingan partisan politis. Ia harus sedekat mungkin sebagai penyuara suara bathin masyarakat. Sebagai jembatan antara rakyat dan state yang terkadang terbentang jarak.
Setidaknya ada dua isu kontemporer yang seharusnya diadvokasi kampus. Dibela kampus. Menjadi prioritas perjuangan civitas akademika pada saat ini.
Pertama adalah penyempurnaan UU Anti Korupsi. Sebagaimana dipahami publik, pemerintah mengalami kemacetan dalam legislasi UU Perampasan Aset Koruptor. Prof. Mahfud MD, Menkopolhukam (sekarang mantan) mengungkapkan secara terbuka dalam sebuah RDP DPR.
Kemacetan itu diakibatkan hadangan para elit politik. Khususnya ketua umum parpol. Mereka tidak mengijinkan partainya mendukung RUU perampasan aset.
“Soal itu, korea-korea ini tergantung apa pimpinan parpol”, kata Bambang Pacul dalam sebuah RDP.
RUU perampasan aset akan menjadi prahara bagi koruptor. Ia akan dimiskinkan. Kerja kerasnya korupsi akan sia-sia.
UU itu akan menggugurkan cara pandang koruptor selama ini. “Korupsi sebesar mungkin. Asal cukup untuk membiayai perlindungan hukum. Sisanya masih bisa untuk hidup tujuh turunan”.
Atau “korupsi sebesar mungkin. Jalani penjara. Sisanya untuk hidup tujuh turunan”.
Idiologi para koruptor ini harus dipatahkan. UU Perampasan Aset Koruptor akan meluluhlantakkan idiologi itu. Hasil korupsi tidak bisa untuk cadangan hidup tujuh turunan. Tapi ia dimiskinkan.