Skenario Jebol Kabinet, Kenapa Beda 1998?
Oleh : Abdul Rohman Sukardi
Kasus “jebol kabinet”-nya Presiden Soeharto adalah kasus masa depan politik. Ketika Presiden Soeharto dipandang tidak bersikukuh mempertahankan rezim. Maka cara selamat pasca kepemimpinan Soeharto adalah berdamai dengan kekuatan baru. Harus mensejiwa dengan arus perubahan itu.
Caranya dengan memisahkan diri dengan kekuatan lama. Mendeklarasikan penolakan terhadap figur musuh bersama (Presiden Soeharto). Berdiri seiring dengan kekuatan baru, walau sejatinya merupakan kekuatan lama. Atau setidaknya diuntungkan oleh kekuatan lama.
Empat belas menteri kabinet yang mundur itu kemudian menjadi inti kabinet Habibie. Kabinet pasca Presiden Soeharto. Secara politik, karir mereka selamat.
Beda dengan kasus Presiden Jokowi. Ia masih akan berkuasa setidaknya hingga beberapa bulan jelang akhir tahun 2024. Ia juga masih punya harapan menancapkan kaki kekuasaan melalui anaknya pasca dirinya lengser. Maka meninggalkan kekuasaan bukan merupakan jalan yang logis bagi para menteri. Walau mungkin saja ditekan oleh partai pengusungnya.
Perbedaan kedua, hukuman rakyat vs hukuman partai. Kasus 1998 bisa dikatakan sebagai “hukuman rakyat”. Menuntut pergantian rezim dan perubahan sistem penyelenggaraan negara.
Kala itu belum populer survei elektoral. Untuk mengukur seberapa persen rakyat yang sebenarnya menolak rezim. Seberapa persen masih mencintai dan menginginkan rezim bertahan.
Maka suara penolakan itu digeneralisir sebagai suara keseluruhan. Dianggap semua rakyat satu suara soal isu mundurnya Presiden Soeharto.
Sedangkan kasus kabinetnya Jokowi merupakan hukuman partai. Partai hendak menghakimi kader pembelotnya. Pada saat bersamaan, partai berhadapan dengan pengadilan rakyat. Masih akan dipilih atau tidak partai itu oleh rakyat.