Ahok Effect, Percepat Pilpres Satu Putaran?

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

“Ahok effect”. Ialah potensi resonansi negatif’ bagi komunitas politik yang memiliki keterhubungan dengan Ahok. Citra itu setidaknya terbentuk dalam proses politik rentang satu dekade terakhir. Kasus terbesarnya memicu peristiwa gerakan anti penistaan agama. Populer dikenal dengan “Gerakan 212”.

Ada dua potensi Ahok effect. Khususnya dalam pilpres 2024. Ketika Ahok memutuskan berhenti dari jabatannya sebagai Komisaris BUMN.

Ia berhenti dari BUMN agar bisa fokus mendukung dan berkampanye bagi pasangan Ganjar-Mahfud. Peraturan mengharuskan begitu. Maka ia memilih mundur dari Komisaris BUMN.

Pertama, kekuatan manuver kata-katanya sering tidak terkontrol. Melabrak suasana batiniah masyarakat multikultur yang sensitif. Bisa memicu luka bathin masyarakat tertentu dan membuat arus balik kontraproduktif.

Nusantara merupakan ranjau-ranjau kultural dengan keunikan falsafahnya masing-masing. Memperlakukannya tidak bisa digeneralisir sebagaimana masyarakat homogen.

Bahasa Jawanya “perlu empan papan. Perlu sadar tempat dan waktu. Agar tidak memicu ketersinggungan dan kemarahan sebuah kelompok masyarakat.

Kedua, implikasi historis. Ahok pernah menjadi common enemy kasus penistaan agama. Kehadiraannya mempersempit potensi konsolidasi dukungan politik dari sebanyak mungkin elemen. Sebagian masyarakat masih terluka dan belum bisa move on menerima kembali dengan baik.

Sebagaimana kita bisa baca di media-media online, kemunculan Ahok dalam dinamika politik ditandai statemen keras kepada Presiden Jokowi. Menurutnya presiden tidak bisa bekerja.

Apakah statemen Ahok itu secara otomatis menguntungkan elektoral capres yang didukungnya. Ganjar-MMD?. Atau justru memicu redupnya simpati kepada Ganjar-MMD?.

Lihat juga...