Belajar dari Para Manager Campaign Capres

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Anehnya, pasangan ini terus menanjak elektabilitasnya. Sementara lawannya mengalami kemerosotan. Anomali.

Kenapa?. Tentu kita hanya bisa menduganya saja. Menganalisanya.

Salah satunya, para manager campaign yang wawasannya sudah pada mengglobal itu mungkin melupakan realitas kenusantaraan. Lupa bahwa Nusantara merupakan ranjau-ranjau kultural.

Di tengah gemuruh dinamika politik modern, Nusantara memiliki gemuruhnya sendiri. Cara pikir dan pola-polanya sendiri. Ibarat ladang ranjau, setiap zona kultural memerlukan perlakuannya masing-masing.

Menggiring aspirasi publik tidak cukup menekan remot dan secara otmatis akan diikuti khalayak luas.

Cara meluluhkan masyarakat Banyumas, Solo, Demak, Semarang, memerlukan perlakuan berbeda. Itupun hanya satu satu provinsi. Jateng.

Sementara Nusantara banyak memiliki zona kultural.

Ranjau-ranjau kultural itu tidak begitu mudah ditundukkan dengan ilmu politik modern. Sama seperti penerapan disiplin ilmu pertanian moderen. Masih harus bersisiran dengan tradisi *Pranata Mangsa* dari masyarakat lokal.

Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dinilai sejumlah pihak relatif sukses mengarungi ranjau-ranjau kultural itu. Mereka memimpin relatif lama dengan menyatukan kemajemukan yang sedang bergejolak pada masanya. Sebelum usia membatasi perjalanan karirnya.

Keduanya dikenal kuat menjalani laku spiritual. Konon keduanya memahami betul apa yang disebut dalam tradisi Jawa sebagai “ilmu kanuragan” dan “ilmu kebatinan”.

Kedua ilmu itu sejatinya merupakan pisau analisa untuk memotret dinamika masyarakat. Ilmu kanuragan merupakan pisau analisa memotret karakter. Sedangkan ilmu kebatinan merupakan pisau analisa dalam memotret falsafah hidup atau suara batin yang berkembang dalam masyarakat.

Lihat juga...