Untung ada Mbah Karim yang menyuruh orang-orang untuk tetap merawat jenazah ibu. Ia memaksa mereka untuk merawat jenazah ibu sebagaimana jenazah pada umumnya. Bahkan orang baik itu, menjanjikan upah untuk mereka yang bersedia.
Sebagian dari mereka juga meragukan kesaksian bapak. Tetapi mereka juga tidak bisa menyangkal karena adanya bukti bahwa di ranjangnya ada racun. Dari mulutnya mengeluarkan busa. Di samping tempat pembaringan, ada sebuah gelas berisikan air minum bercampur racun, diduga racun tikus.
Dari kesaksian bapak, ibu telah meminum racun karena ia sudah putus asa menghadapi penyakit vertigonya yang sering kambuh. Tetapi aku pun meragukannya, bahkan aku juga berprasangka buruk terhadap bapak, jangan-jangan bapaklah dalang dari kematian ibu yang sengaja membubuhkan racun di dalam minuman ibu.
*
Setelah kepergian ibu, bapak izin kepada nenek untuk merantau ke Kalimantan bersama tetangganya. Bapak juga berpamitan denganku. Selama hampir enam bulan, bapak sekalipun tak berkabar.
Sering kali nenek menanyakan kabar anaknya kepada tetangga. Namun mereka juga sudah kehilangan jejak karena sudah tidak satu mess.
Suatu hari, ketika bapak sudah meninggalkan rumah sepuluh bulan, ada kabar duka menimpa kami. Bapak dikabarkan meninggal karena penyakit AIDS. Jenazah bapak dikuburkan di sana.
Itu artinya aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali nenek. Tetapi dalam kurun seminggu sekali, seusai salat Jumat, aku mengunjungi makam ibu, membersihkannya, mendoakan ibu dan bapak, semoga diampuni dosanya. Setidaknya, jika aku merasa sendiri masih ada nenek dan nama ibu di batu nisannya. ***